Rabu, 23 Oktober 2013

"SURAT UNTUKMU" (CERPEN)

Pagi ini dia datang menemuiku, duduk di sampingku dan tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan yang begitu hangat, penuh harap dan selalu membuatku bisa memaafkannya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangan dia., meski dia sering menyakiti hatiku dan membuatku menangis. Tidak hanya itu, akupun kehilangan sahabatku, aku tidak peduli dengan perkataan orang lain tentang aku. Aku akan tetap memaafkan Roni, meskipun dia sering menghianati cintaku.

“Aku gak tau harus bilang apa lagi, buat kesekian kNinaya kamu selingkuh! Kamu udah ngancurin kepercayaan aku!”

Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan Dia memelukku erat.

“Maafin aku Sania, maafin aku! Aku janji gak akan nyakitin kamu lagi. Aku janji Sania. Aku sayang kamu! Please, kamu jangan nangis lagi!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memaafkannya, aku tidak ingin kehilangan Roni, aku sangat mencintainya.

Malam ini Roni menjemputku, kami akan kencan dan makan malam. Aku sengaja mengenakan gaun biru pemberian Roni dan berdandan secantik mungkin. Kutemui Roni di ruang tamu, Dia tersenyum, memandangiku dari atas hingga bawah.

“Sania, kamu cantik banget malam ini.”

“Makasih. Kita jadi dinner kan?”

“Ya tentu, tapi Sania, malam ini aku gak bawa mobil dan mobil kamu masih di bengkel, kamu gak keberatan kita naik Taksi?”

“Engga ko, ya udah kita panggil Taksi aja, ayo.”

Dengan penuh semangat aku menggandeng lengan Roni. Ini benar-benar menyenangkan, disepanjang perjalanan Roni menggenggam erat tanganku, aku bersandar dibahu Roni menikmati perjalanan kami dan melupakan semua kesalahan yang telah Roni perbuat padaku.

Kami berhenti disebuah Tenda di pinggir jalan. Aku sedikit ragu, apa Roni benar-benar mengajakku makan ditempat seperti ini. Aku tahu betul sifat Roni, dia tidak mungkin mau makan di warung kecil di pinggir jalan.

“Kenapa Ron? Mienya gak enak?”

“Enggak ko, mienya enak, Cuma panas aja. Kamu gak apa-apa kan makan ditempat kaya gini Sania?”

“Enggak. Aku sering ko makan ditempat kaya gini. Mie ayamnya enak loch. Kamu kunyah pelan-pelan dan nikmati rasanya dalam-dalam.”

Aku yakin, Roni gak pernah makan ditempat kaya gini. Tapi sepertinya Roni mulai menikmati makanannya, dia bercerita panjang lebar tentang teman-temannya, keluarganya dan banyak hal.
Dua tahun bersama Roni bukan waktu yang singkat, dan tidak mudah untuk mempertahankan hubungan kami selama ini. Roni sering menghianati aku, bukan satu atau dua kali Roni berselingkuh, tapi dia tetap kembali padaku. Dan aku selalu memaafkannya, itu yang membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Mereka benar, aku wanita bodoh yang mau dipermainkan oleh Roni. Meskipun kini mereka menjauhiku, aku tetap menganggap mereka sahabatku.

Selesai makan Roni Nampak kebingungan, dia mencari-cari sesuatu dari saku celananya.

“Apa dompetku ketinggalan di Taksi?”

“Yakin di saku gak ada?”

“Gak ada. Gimana dong?”

“ya udah, pake uang aku aja. Setiap jalan selalu kamu yang traktir aku, sekarang giliran aku yang traktir kamu. Ok!”

“ok. Makasih ya sayang, maafin aku.”

Saat di kampus, aku bertemu dengan Nina dan Dinda. Aku sangat merindukan kedua sahabatku itu, hampir empat bulan kami tidak bersama, hingga saat ini mereka tetap sahabat terbaikku. Saat berpapasan, Nina menarik tanganku.

“Sania, kamu sakit? Ko pucet sich?”

Nina bicara padaku, ini seperti mimpi, Nina masih peduli padaku.

“Engga, Cuma capek aja ko Lin. Kalian apa kabar?”

“Jelas capek lah, punya pacar diselingkuhin terus! Lagian mau aja sich dimainin sama cowok playboy kaya Roni! Jangan-jangan Roni gak sayang sama kamu? Ups, keceplosan.”

“Stop Din! Kasian Sania! Kamu kenapa sich Din bahas itu mulu? Sania kan gak salah.”
“Udah dech Nina, kamu diem aja! Harusnya kamu ngaca Sania! Kenapa kamu diselingkuhin terus!”

Dinda bener, jangan-jangan Roni gak sayang sama aku, Roni gak cinta sama aku, itu yang buat Roni selalu menghianati aku. Selama ini aku gak pernah berfikir ke arah sana, mungkin karena aku terlalu mencintai Roni dan takut kehilangan Roni. Semalaman aku memikirkan hal itu, aku ragu terhadap perasaan Roni padaku. Jika benar Roni tidak mencintaiku, aku benar-benar tidak bisa memaafkannya lagi.

Meskipun tidak ada jadwal kuliah, aku tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kelompok. Setelah larut malam dan kampus sudah hampir sepi aku pun pulang. Saat sampai ke tempat parkir, aku melihat Roni bersama seorang wanita. Aku tidak bisa melihat wajah wanita itu karena dia membelakangiku. Mungkin Roni menghianatiku lagi. Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Mereka masuk ke dalam mobil, aku bisa melihat wanitaitu, sangat jelas, dia sahabatku, Dinda….

Sungguh, aku benar-benar tidak bisa memaafkan Roni. Akan ku pastikan, apa Roni akan jujur padaku atau dia akan membohongiku, ku ambil ponselku dan menghubungi Roni.

“Hallo, kamu bisa jemput aku sekarang Ron?”

“Maaf Sania, aku gak bisa kalo sekarang. Aku lagi nganter kakak, kamu gak bawa mobil ya?”

“Emang kakak kamu mau kemana Ron?”

“Mau ke…, itu mau belanja. Sekarang kamu dimana?”

“Ron! Sejak kapan kamu mau nganter kakak kamu belanja? Sejak Dinda jadi kakak kamu? Hah?!!”

“Sania, kamu ngomong apa sayang? Kamu bilang sekarang lagi dimana?”

“Aku liat sendiri kamu pergi sama Dinda Ron! Kamu gak usah bohongin aku! Kali ini aku gak bisa maafin kamu Ron! Kenapa kamu harus selingkuh sama Dinda Ron? Aku benci kamu! Mulai sekarang aku gak mau liat kamu lagi! Kita Putus Ron!”

“Sania, ini gak…….”

Kubuang ponselku, kulaju mobilku dengan kecepatan tertinggi, air mataku terus berjatuhan, hatiku sangat sakit, aku harus menerima kenyataan bahwa Roni tidak mencintaiku, dia berselingkuh dengan sahabatku.

Beberapa hari setelah kejadian itu aku tidak masuk kuliah, aku hanya bisa mengurung diri di kamar dan menangis. Beruntung Ibu dan Ayah mengerti perasaanku, mereka memberikan semangat padaku dan mendukung aku untuk melupakan Roni, meskipun aku tau itu tak mudah. Setiap hari Roni datang ke rumah dan meminta maaf, bahkan Roni sempat semalaman berada di depan gerbang rumahku, tapi aku tidak menemuinya. Aku berjanji tidak akan memafkan Roni, dan janjiku takan kuingkari, tidak seperti janji-janji Roni yang tidak akan menghianatiku yang selalu dia ingkari.

Hari ini kuputuskan untuk pergi kuliah, aku berharap tidak bertemu dengan Roni. Tapi seusai kuliah, tiba-tiba Roni ada dihadapanku.

“Maafin aku Sania! Aku sama Dinda gak ada hubungan apa-apa. Aku Cuma nanyain tentang kamu ke dia Sania!

“Kita udah putus El! Jangan ganggu aku lagi! Sekarang kamu bebas! Kamu mau punya pacar Tujuh juga bukan urusan aku!”

“Tapi Sania…..”

Aku berlari meninggalkan Roni, meskipun aku sangat mencintainya, aku harus bisa melupakannya. Roni terus mengejarku dan mengucapkan kata maaf. Tapi aku tak pedulikan dia, aku semakin cepat berlari dan menyebrangi jalan raya. Ketika sampai di seberang jalan, terdengar suara tabrakan, dan…………
  
“Roniiii…..”

Roni tertabrak mobil saat mengejarku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepala Roni.

“Roni, maafin aku!”

“Sania. Ma-af ma-af a-ku jan-ji jan-ji ga sa-ki-tin ka-mu la-gi a-ku cin-ta ka-mu a-ku ma-u ni-kah sa-ma kam……”

“Roniaaaaa……”

Roni meninggal saat itu juga, ini semua salahku, jika aku mau memaafkan Roni semua ini takan terjadi. Sekarang aku harus menerima kenyataan ini, kenyataan yang sangat pahit yang tidak aku inginkan, yang tidak mungkin bisa aku lupakan. Roni menghembuskan nafas terakhirnya dipelukanku, disaat terakhir dia berjanji takan menyakitiku lagi, disaat dia mengatakan mencintaiku dan ingin menikah denganku. Dia mengatakan semuanya disaat meregang nyawa ketika menahan sakit dari benturan keras, ketika darahnya mengalir begitu deras membasahi aspal jalanan.
Rasanya ingin sekali menemani Roni didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, kedinginan, aku tidak bisa berhenti menangis, menyesali perbuatanku, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Satu minggu setelah Roni meninggal, aku masih menangis, membayangkan semua kenangan indah bersama Roni yang tidak akan pernah terulang lagi. Senyuman Roni, tatapan Roni, takan pernah bisa kulupakan.

“Sania sayang, ini ada titipan dari Ibunya Roni. Kamu jangan melamun terus dong! Kamu harus bangkit! Biar Roni tenang di alam sana. Ibu yakin kamu bisa!”

“Ini salah aku Bu. Aku butuh waktu.”

Kubuka bingkisan dari Ibu Roni, didalamnya ada kotak kecil berwarna merah, mawar merah yang telah layu dan amplop berwarna merah. Didalam kotak merah itu terdapat sepasang cincin. Aku pun menangis kembali dan membuka amplop itu.
Dear Sania,
Sania sayang, maafin aku, aku janji gak akan nyakitin kamu, aku sangat mencintai kamu, semua yang udah aku lakuin itu buat ngeyakinin kalo Cuma kamu yang terbaik buat aku, Cuma kamu yang aku cinta.
Aku harap, kamu mau nemenin aku sampai aku menutup mata, sampai aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan cincin ini akan menjadi cincin pernikahan kita.
Aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu Sania.
Love You
Roni

Air mataku mengalir semakin deras dari setiap sudutnya, kupakai cincin pemberian Roni, aku berlari menghampiri Ibu dan memeluknya.

“Bu, aku udah nikah sama Roni!”

“Sania, kenapa sayang?”

“Ini!” Kutunjukan cincin pemberian Roni dijari manisku.

“Sania, kamu butuh waktu nak. Kamu harus kuat!”

“Sekarang aku mau cerai sama Roni Bu!” kulepas cincin pemberian Roni dan memberikannya pada Ibu.

“Aku titip cincin pernikahanku dengan Roni Bu! Ibu harus menjaganya dengan baik!”
Ibu memeluku erat dan kami menangis bersama-sama.