Sabtu, 04 Mei 2013

Review 2: Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pengaturan Hak Lintas Pesawat Terbang dan Open Sky Secara Internasional

Konvensi Paris 1919

Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya.Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.13 Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangatlambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh negarapeserta Konferensi, antara lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5: “…no contracting State shall, except by a special and temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State.” Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.14 Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan:

11 Masamichi Kono, Opening Market in Financial Services and the Role of the GATS, Special Studies, WTO Secretariat, Geneva, 1998, hlm. 45 12 Benyamin F. Crabtree, Doing Qualitative Research, Sage Publication, London, 1995. 13 Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory.”14 Frans Likada, Masalah Lintas di Ruang Udara. Binacipta, Bandung, 1987,“Each contracting State undertakes in time of peace to accord freedom of innocent passageabove its territory to the aircraft of the other contracting States, provided that the conditions laid down in the present Convention are observed.Regulations made by a contracting State as to the admission over its territory of the aircraftof the other contracting States shall be applied without distinction of nationality”.Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.15 Konvensi Chicago 1944 Dari keseluruhan hasil konferensi Chicago 1944, hanya sedikit ketentuan yang mengatur aspek ekonomi penerbangan sipil internasional. Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan: “…The Contracting State recognized that every State has complete and exclusive sovereignty over theairspace above its territory”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing.Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untukmembuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupunmultilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:

“Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraftnot engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory nd to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission,and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting Statenevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring toproceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities tofollow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than15 Ibid., hlm. 9.scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have theprivilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of anyState where such embarkation or dischargetakes place to impose such regulations, conditionsor limitations as it may consider desirable”.Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi bataswilayah negara, baikpenerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan trafic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi semuaperaturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat kaitannya dengan pertukaranhak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule internasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi: “No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordancewith the terms of such permission or authorization”.

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayanipengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasiapabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pemberianhak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataanlain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanyaperjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral.International Air Service Transit Agreement dan International Air Transport Agreementinternational Air Service Transit Agreement (Transit Agreement) dan International AirTransport Agreement (Transport Agreement) adalah dua perjanjian lain yang jugadihasilkan oleh Konferensi Chicago 1944, yang memuat ketentuan-ketentuanmengenai hak-hak komersial yang dipertukarkan, antara lain:

Pasal 1 Transit Agreement menyatakan:
(1)Each contracting State grants to the other contracting States the following freedoms of the
air in respect of scheduled international air services:
1. The privilege to fly across its territory without landing;
2. The privilege to land for non-traffic purposes.
(2)…
(3)A contracting State granting to the airlines of another contracting State the privilege tostop for non-traffic purposes may require such airlines to offer reasonable commercial serviceat the points at which such stops are made. Such requirement shall not involve anydiscrimination between airlines operating on the same route, shall take into account thecapacity of the aircraft, and shall be exercised in such a manner as not to prejudice the normal operations of the international air services concerned or the rights and obligations of
a contracting State.

Pasal 1 (1) Transport Agreement berisikan pengaturan lima kebebasan di udara (five freedom in the air) yang diperuntukkan bagi penerbangan terjadwal internasional, yang berbunyi sebagai berikut.Each contracting State grants to the other contracting States the following freedoms of the air in respect of scheduled international air services:

1. The privilege to fly across its territory without landing;
2. The privilege to land for non-traffic purposes;
3. The privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in the territory of the State
whose nationality the aircraft possesses;
4. The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of the State
whose nationality the aircraft possesses;
5. The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of any other
contracting State and the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from
any such territory...”.

Walaupun Transit Agreement dan Transport Agreement tersebut dirancang untuk menjadi landasan hukum bagi perjanjian internasional mengenai penerbangan sipil,namun dalam kenyataannya, kedua perjanjian tersebut masih jauh dari tujuan utamanya, yaitu mengatur aspek-aspek ekonomi penerbangan sipil internasional sebagaimana yang diharapkan oleh para delegasi negara yang mengikuti Konferensi Chicago Tahun 1944.Perjanjian Bilateral, Regional, Plurilateral dan Multilateral dalam KerangkaLiberalisasi Perdagangan Jasa Penerbangan Perjanjian bilateral tetap menjadi landasan utama bagi suatu negara dalam melakukan pendekatan untuk melakukan liberalisasi perdagangan jasa penerbangan secara internasional. Selama beberapa dekade terakhir, sekitar lebih dari seribu perjanjian bilateral telah dibuat oleh negara-negara dalam rangka membuka akses pasar penerbangan mereka. Lebih dari 70 persen dari perjanjian tersebut menyepakati beberapa hal seperti hak lintas penerbangan, penentuan bebas dari kapasitas kuota,menghapusan tarif ganda, penghapusan kontrol harga, dan perluasan kriteriakepemilikan maskapai penerbangan. Bahkan beberapa perjanjian bilateral juga telah mengatur mengenai sistem reservasi online (Computer Reservation System/CRS), code sharing penerbangan, penyewaan pesawat dan transportasi intermodal.16 16 Council of ICAO, “Developments in International Air Transport Regulation and Liberalization” supplement to

Salah satu perkembangan paling penting dari perjanjian bilateral tersebut adalah peningkatan jumlah perjanjian bilateral mengenai open sky, yang menyediakan akses pasar yang bebas hambatan dan hak lintas udara.17 Perjanjian bilateral pertama kali yang menyepakati berlakunya open sky adalah perjanjian antara Belanda dan Amerika Serikat pada tahun 1992. Sampai dengan bulan Agustus 2010, terdapat 171 perjanjian bilateral yang mengatur open sky, yang melibatkan 103 negara dan Amerika Serikat menjadi negara yang terlibat dalam 86 perjanjian.18 Lebih dari 60 persen dari perjanjian bilateral ini juga memberikan hak kebebasan kelima (5th freedom of the air)19 untuk jasa kargo. Sekitar 33 persen dari perjanjian bilateral open sky yang diikuti oleh Amerika Serikat melampirkan Annex yang mengatur pembatasan frekuensi, hak kebebasan kelima, jasa kargo, code sharing penerbangan, jasa penerbangan tidak berjadwal, parkir pesawat, yang sebagian diantaranya hanya dikenakan bagi perusahaan maskapai Amerika Serikat.20Selain perjanjian bilateral antar dua negara, pendekatan lain yang dilakukan negara-negara untuk membuka akses pasar bagi perdagangan jasa penerbangan adalah dengan membuat perjanjian regional dan plurilateral. Beberapa perjanjian regional telah sampai pada tahap membangun kerangka hukum kelembagaan untuk mengatur pasar dalam suatu region. Beberapa perjanjian regional diantaranya: 

Tabel

No.                                 Nama Perjanjian                                   Tahun    Jumlah Anggota

1.   The Single Aviation Market within the European Union       1987    27 negara
2.   The Decision on Integration of Air Transport of the Andean 1991    4 negara
Community
3.   The Banjul Accord for an Accelerated Implementation of the 1997    7 negara
Yamoussoukro Declaration
4.   The Agreement on the Establishment of Sub-regional Air      1998    4 negara
Transport Cooperation among Cambodia, Lao People’s
Democratic Republic, Myanmar and Viet Nam
5.   The Multilateral Air Services Agreement (MASA) of the      1998    9 negara
Caribbean Community (CARICOM)
6.   The Agreement on Sub-regional Air Services (Fortaleza        1999    6 negara
Agreement) of the Southern Common Market (MERCOSUR)
7.   The Agreement on Air Transport of the Economic and          1999    6 negara
Monetary Community of Central Africa (CEMAC)

Selain itu, ada dua perjanjian khusus yang mengatur perluasan rute penerbanganyang meliputi wilayah BIMP ASEAN, yaitu Brunai, Indonesia, Malaysia dan Filipina(1995) serta wilayah IMT –wilayah segitiga pertumbuhan – yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand. Melalui perjanjian multilateral, WTO juga bersepakat meliberalisasiperdagangan jasa penerbangan. General Agreement on Trade in Services (GATS) memiliki mandat untuk meliberalisasi dan memperluas semua sektor jasa. Prinsipprinsip perdagangan jasa yang tercantum dalam GATS, seperti most-favoured nation atau non-discrimination, tranparansi, national treatment dan akses pasar adalah landasan dalam melaksanakan liberalisasi perdagangan jasa. Annex mengenai jasa transportasi udara yang terdapat di dalam GATS berlaku aturan dan prinsip bagi tiga aktivitas yang spesifik yang berkenaan dengan transportasi udara, yaitu jasa perbaikan dan pemeliharaan pesawat, penjualan dan pemasaran jasa transportasi udara serta Computer Reservation System (jasa penjualan tiket secara online). Ini berarti bahwa GATS tidak berlaku untuk tindakan-tindakan yang mempengaruhi hak lintas atau jasan


Nama/NPM: Nurul Rochmah/25211407

Kelas/Tahun: 2EB09/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar