Hasil Penelitian dan
Pembahasan
Pengaturan Hak Lintas
Pesawat Terbang dan Open Sky Secara Internasional
Konvensi Paris 1919
Konferensi Paris 13
Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919
(Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya.Konsekuensinya
adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di
wilayah udara mereka.13 Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangatlambat karena
ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh negarapeserta
Konferensi, antara lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang
terdapat pada Pasal 5: “…no contracting State shall, except by a special and
temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft
which does not possess the nationality of a contracting State.” Pasal ini
hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan
tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap
konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang
membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi,
melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.14 Selanjutnya hal penting lain
yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 Konvensi Paris yang
menyatakan:
11 Masamichi Kono,
Opening Market in Financial Services and the Role of the GATS, Special Studies,
WTO Secretariat, Geneva, 1998, hlm. 45 12 Benyamin F. Crabtree, Doing
Qualitative Research, Sage Publication, London, 1995. 13 Pasal 1 Konvensi Paris
1919: “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and
exclusive sovereignty the air space above its territory.”14 Frans Likada,
Masalah Lintas di Ruang Udara. Binacipta, Bandung, 1987,“Each contracting State undertakes
in time of peace to accord freedom of innocent passageabove its territory to
the aircraft of the other contracting States, provided that the conditions laid
down in the present Convention are observed.Regulations made by a contracting State
as to the admission over its territory of the aircraftof the other contracting
States shall be applied without distinction of nationality”.Ketentuan Pasal 2
ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara
komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota
Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak
melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang lain tanpa terlebih dahulu
mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.15 Konvensi Chicago 1944
Dari keseluruhan hasil konferensi Chicago 1944, hanya sedikit ketentuan yang
mengatur aspek ekonomi penerbangan sipil internasional. Pasal 1 Konvensi
Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan:
“…The Contracting State recognized that every State has complete and exclusive
sovereignty over theairspace above its territory”. Pasal ini mengatur tentang
kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas
wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena
lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini
dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara
memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial
yang dilakukan oleh negara asing.Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan
monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Oleh karena itu, demi
menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional
diperlukan kesediaan negara-negara untukmembuat perjanjian internasional baik
bilateral, regional, plurilateral maupunmultilateral mengenai hak-hak
komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:
“Each contracting State
agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraftnot
engaged in scheduled international air services shall have the right, subject
to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in
transit non-stop across its territory nd to make stops for non-traffic purposes
without the necessity of obtaining prior permission,and subject to the right of
the State flown over to require landing. Each contracting Statenevertheless
reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring
toproceed over regions which are inaccessible or without adequate air
navigation facilities tofollow prescribed routes, or to obtain special
permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of
passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than15 Ibid., hlm.
9.scheduled international air services, shall also, subject to the provisions
of Article 7, have theprivilege of taking on or discharging passengers, cargo,
or mail, subject to the right of anyState where such embarkation or
dischargetakes place to impose such regulations, conditionsor limitations as it
may consider desirable”.Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang
melintasi bataswilayah negara, baikpenerbangan yang bersifat non-trafic maupun
penerbangan trafic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus
mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi
semuaperaturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat kaitannya dengan
pertukaranhak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule internasional.
Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional
yang berbunyi: “No scheduled international air service may be operated over or
into the territory of a contracting State, except with the special permission
or other authorization of that State, and in accordancewith the terms of such
permission or authorization”.
Pasal ini secara tegas
menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayanipengangkutan terjadwal
internasional (schedule international) hanya dapat beroperasiapabila sebelumnya
telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pemberianhak lainnya oleh
negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataanlain, pengoperasian
angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanyaperjanjian antar
negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral.International Air
Service Transit Agreement dan International Air Transport
Agreementinternational Air Service Transit Agreement (Transit Agreement) dan
International AirTransport Agreement (Transport Agreement) adalah dua
perjanjian lain yang jugadihasilkan oleh Konferensi Chicago 1944, yang memuat
ketentuan-ketentuanmengenai hak-hak komersial yang dipertukarkan, antara lain:
Pasal 1 Transit
Agreement menyatakan:
(1)Each contracting
State grants to the other contracting States the following freedoms of the
air in respect of
scheduled international air services:
1. The privilege to fly
across its territory without landing;
2. The privilege to land
for non-traffic purposes.
(2)…
(3)A contracting State
granting to the airlines of another contracting State the privilege tostop for
non-traffic purposes may require such airlines to offer reasonable commercial
serviceat the points at which such stops are made. Such requirement shall not
involve anydiscrimination between airlines operating on the same route, shall
take into account thecapacity of the aircraft, and shall be exercised in such a
manner as not to prejudice the normal operations of the international air
services concerned or the rights and obligations of
a contracting State.
Pasal 1 (1) Transport
Agreement berisikan pengaturan lima kebebasan di udara (five freedom in the
air) yang diperuntukkan bagi penerbangan terjadwal internasional, yang berbunyi
sebagai berikut.Each contracting State grants to the other contracting States
the following freedoms of the air in respect of scheduled international air
services:
1. The privilege to fly
across its territory without landing;
2. The privilege to land
for non-traffic purposes;
3. The privilege to put
down passengers, mail and cargo taken on in the territory of the State
whose nationality the
aircraft possesses;
4. The privilege to take
on passengers, mail and cargo destined for the territory of the State
whose nationality the
aircraft possesses;
5. The privilege to take
on passengers, mail and cargo destined for the territory of any other
contracting State and
the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from
any such territory...”.
Walaupun Transit
Agreement dan Transport Agreement tersebut dirancang untuk menjadi landasan
hukum bagi perjanjian internasional mengenai penerbangan sipil,namun dalam
kenyataannya, kedua perjanjian tersebut masih jauh dari tujuan utamanya, yaitu
mengatur aspek-aspek ekonomi penerbangan sipil internasional sebagaimana yang
diharapkan oleh para delegasi negara yang mengikuti Konferensi Chicago Tahun
1944.Perjanjian Bilateral, Regional, Plurilateral dan Multilateral dalam
KerangkaLiberalisasi Perdagangan Jasa Penerbangan Perjanjian bilateral tetap
menjadi landasan utama bagi suatu negara dalam melakukan pendekatan untuk
melakukan liberalisasi perdagangan jasa penerbangan secara internasional.
Selama beberapa dekade terakhir, sekitar lebih dari seribu perjanjian bilateral
telah dibuat oleh negara-negara dalam rangka membuka akses pasar penerbangan
mereka. Lebih dari 70 persen dari perjanjian tersebut menyepakati beberapa hal
seperti hak lintas penerbangan, penentuan bebas dari kapasitas
kuota,menghapusan tarif ganda, penghapusan kontrol harga, dan perluasan
kriteriakepemilikan maskapai penerbangan. Bahkan beberapa perjanjian bilateral
juga telah mengatur mengenai sistem reservasi online (Computer Reservation
System/CRS), code sharing penerbangan, penyewaan pesawat dan transportasi
intermodal.16 16 Council of ICAO, “Developments in International Air Transport
Regulation and Liberalization” supplement to
Salah satu perkembangan
paling penting dari perjanjian bilateral tersebut adalah peningkatan jumlah
perjanjian bilateral mengenai open sky, yang menyediakan akses pasar yang bebas
hambatan dan hak lintas udara.17 Perjanjian bilateral pertama kali yang
menyepakati berlakunya open sky adalah perjanjian antara Belanda dan Amerika
Serikat pada tahun 1992. Sampai dengan bulan Agustus 2010, terdapat 171
perjanjian bilateral yang mengatur open sky, yang melibatkan 103 negara dan
Amerika Serikat menjadi negara yang terlibat dalam 86 perjanjian.18 Lebih dari
60 persen dari perjanjian bilateral ini juga memberikan hak kebebasan kelima
(5th freedom of the air)19 untuk jasa kargo. Sekitar 33 persen dari perjanjian
bilateral open sky yang diikuti oleh Amerika Serikat melampirkan Annex yang
mengatur pembatasan frekuensi, hak kebebasan kelima, jasa kargo, code sharing
penerbangan, jasa penerbangan tidak berjadwal, parkir pesawat, yang sebagian
diantaranya hanya dikenakan bagi perusahaan maskapai Amerika Serikat.20Selain
perjanjian bilateral antar dua negara, pendekatan lain yang dilakukan
negara-negara untuk membuka akses pasar bagi perdagangan jasa penerbangan
adalah dengan membuat perjanjian regional dan plurilateral. Beberapa perjanjian
regional telah sampai pada tahap membangun kerangka hukum kelembagaan untuk
mengatur pasar dalam suatu region. Beberapa perjanjian regional diantaranya:
Tabel
No.
Nama Perjanjian Tahun Jumlah Anggota
1. The Single Aviation Market within the European
Union 1987
27 negara
2. The Decision on Integration of Air Transport of the
Andean 1991 4 negara
Community
3. The Banjul Accord for an Accelerated Implementation of
the 1997 7 negara
Yamoussoukro Declaration
4. The Agreement on the Establishment of Sub-regional
Air 1998
4 negara
Transport Cooperation among Cambodia, Lao
People’s
Democratic Republic, Myanmar and Viet Nam
5. The Multilateral Air Services Agreement (MASA) of
the 1998
9 negara
Caribbean Community (CARICOM)
6. The Agreement on Sub-regional Air Services
(Fortaleza 1999 6 negara
Agreement) of the Southern Common Market (MERCOSUR)
7. The Agreement on Air Transport of the Economic
and 1999 6 negara
Monetary Community of Central Africa (CEMAC)
Selain itu, ada dua perjanjian
khusus yang mengatur perluasan rute penerbanganyang meliputi wilayah BIMP
ASEAN, yaitu Brunai, Indonesia, Malaysia dan Filipina(1995) serta wilayah IMT
–wilayah segitiga pertumbuhan – yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand. Melalui
perjanjian multilateral, WTO juga bersepakat meliberalisasiperdagangan jasa
penerbangan. General Agreement on Trade in Services (GATS) memiliki mandat
untuk meliberalisasi dan memperluas semua sektor jasa.
Prinsipprinsip perdagangan jasa yang tercantum dalam GATS, seperti
most-favoured nation atau non-discrimination, tranparansi, national
treatment dan akses pasar adalah landasan dalam melaksanakan liberalisasi
perdagangan jasa. Annex mengenai jasa transportasi udara yang terdapat di
dalam GATS berlaku aturan dan prinsip bagi tiga aktivitas yang spesifik
yang berkenaan dengan transportasi udara, yaitu jasa perbaikan
dan pemeliharaan pesawat, penjualan dan pemasaran jasa transportasi udara
serta Computer Reservation System (jasa penjualan tiket secara online).
Ini berarti bahwa GATS tidak berlaku untuk tindakan-tindakan yang
mempengaruhi hak lintas atau jasan
Nama/NPM: Nurul Rochmah/25211407
Kelas/Tahun: 2EB09/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar