Sabtu, 04 Mei 2013

Review 3: Implementasi Dari Kebijakan Ruang Udara Terbuka (Open Sky Policy) di Indonesia Dalam Rangka Liberalisasi Perdagangan Jasa Penerbangan


Implementasi Dari Kebijakan Ruang Udara Terbuka (Open Sky Policy) di Indonesia Dalam Rangka Liberalisasi Perdagangan Jasa Penerbangan 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah landasan hukum bagi penyelenggaraan jasa penerbangan di Indonesia. Undang-Undang iniadalah pengganti dari undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ini lahir karena terjadi perubahan yang signifikan terhadap sistem lalu lintas udara di dunia, khususnya berkaitan denganliberalisasi dan faktor ekonomi. Perpindahan manusia dari satu negara ke negaralain, pergerakan modal serta kebijakan transportasi dalam satu region danperdagangan dunia, khususnya perdagangan jasa penerbangan, adalah beberapafaktor yang menjadi latar belakang dari lahirnya undang-undang ini.Berkaitan dengan liberasasi perdagangan jasa penerbangan, tarif mempunyai peran yang sangat penting dalam angkutan udara, baik bagi perusahaan penerbangan, pengguna jasa angkutan udara maupun bagi pemerintah. Bagi perusahaan penerbangan, tarif penerbangan yang tinggi akan menjadikan perusahaan sehat, dan sebaliknya tarif penerbangan yang terlalu rendah dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan penerbangan. Bagi penumpang, tarif yang murah akan menjadikan penumpang dapat menikmati jasa angkutan udara serta memiliki kesempatan memilih yang lebih besar, dan sebaliknya, tarif yang tinggi akan menjadikan mereka tidak dapat menikmati jasa angkutan udara. Bagi pemerintah, tarif merupakan sarana untuk mengendalikan keseimbangan antar kebutuhan masyarakat atas jasa angkutan udara dengankelangsungan hidup perusahaan penerbangan. Menurut rekomendasi ICAO, tarif yang dikenakan kepada penumpang dalam perjanjian angkutan udara internasional harus disepakati oleh perusahaan penerbangan yang ditunjuk (designated airline) setelah dibahas bersama antarperusahaan penerbangan yang bersangkutan. Tarif yang telah disepakati digunakan dalam angkutan udara internasional kemudian disetujui oleh para pihak yang berjanji (double approval). Besaran tarif harus wajar dengan mempertimbangkan semua biaya operasional, pelayanan dan unsur-unsur lain dengan keuntungan yang wajar dalam mempertimbangkan tarif yang dikenakan oleh perusahaan penerbangan lainnya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur mengenaitarif angkutan udara niaga terjadual dalam negeri pada Pasal 126 hingga Pasal 130. Dalam Undang-Undang ini, pemerintah hanya campur tangan terhadap tarif penumpang angkutan udara niaga berjadual dalam negeri kelas ekonomi. Tarif kelas non-ekonomi diserahkan kepada hukum pasar (supply deman) tanpa campur tangan pemerintah. Campur tangan pemerintah pada penentuan tarif kelas non-ekonomi hanya sebatas pada penentuan prosentase dari kapasitas tempat duduk, yaitu pemerintah                                                                               merekomendasikan perusahaan angkutan udara niaga terjadwal menyediakan 40% kapasitas tempat duduk untuk non-ekonomi, sedangkan sisanya 60% untuk kelas ekonomi. 

Campur tangan pemerintah terhadap penetapan tarif angkutan udara niaga berjadwal tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, sementara itu kebebasan menentukan tarif yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga berjadual tersebut dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan angkutan udara niaga berjadual. Cabotage diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Menurut Pasal tersebut, kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan udara di dalam negeri hanya dapat diusahakan oleh badan hukum Indonesia, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Swasta (BUMS) maupun koperasi yang telah mendapatkan izin dari Menteri Perhubungan. Dalam Undang-Undang Nomor 1
asas cabotage diatur dalam Pasal 85. Menurut pasal tersebut, asas cabotage tetap dipertahankan. Angkutan udara niaga terjadual dalam negeri hanya dapa dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional, baik milik BUMN, BUMD, maupun BUMS yang berbentuk Perseroan Terbatas yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadual. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, atas inisiatif instansi pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional yang bersangkutan, angkutan udara niaga berjadual dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadual setelah mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan, asalkan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadual yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadual tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih
dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadual lainnya. Asas cabotage merupakan hak prerogatif negara berdaulat yang diakui di dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal tersebut, setiap negara berhak menolak pemberian izin pesawat udara asing yang melakukan angkutan penumpang, barang dan pos secara komersial dalam negeri. Secara historis, konsep cabotage berasal dari hukum maritime. Istilah cabotage berasal dari “cabot” atau “chabot” dari Bahasa Perancis yang artinya kapal kecil. Istilah tersebut mungkin dari Bahasa Spanyol, dari asal kata “cabo” yang berarti “cape” (tanjung) yang artinya angkutan dari tanjung ke tanjung yang lain dalam satu pantai misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta ke Tanjung Emas di Semarang, kemudian berkembang dari satu tanjung ke tanjung lain dalam pantaiyang berbeda, misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta ke Banjarmasin. Asas cabotage dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944 artinya adalah hak prerogatif yang diberikan kepada negara anggota ICAO untuk mengatur angkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial penerbangan dalam negeri. Dahulu penerbangandari Singapore ke London atau dari Hongkong ke London, atau dari Melbourne keLondon merupakan asas cabotage karena Singapore, Hongkong maupun Australiamerupakan wilayah jajahan Inggris. Bersadarkan Keputusan Presiden Nomor 16Tahun 1970, Perjanjian Indonesia-Thailand, Indonesia pernah memberi cabotagekepada Thailand yang mengizinkan penerbangan Jakarta-Medan-Singapore-Kuala Lumpur-Bangkok-Hongkong-Tokyo pp. Jakarta-Medan adalah ruas cabotage. 

Dalam rangka kebijakan liberalisasi pertukaran hak-hak penerbangan (trafficright) secara multilateral, kemungkinan akan dibentuk “Aviation Union of States” yangEmmy Latifah. Liberalisasi Perdagangan...sejalan dengan konsep perdagangan WTO/GATT khususnya GATS (perdaganganjasa) untuk memperbaiki kegagalan Konferensi Chicago 1944 yang mempertukarkan hak-hak penerbangan secara multilateral dengan melepaskan asas cabotage yang akan menukarkan hak-hak penerbangan secara multilateral. Bagi negara-negara yang penerbangannya belum memadai, tidak perlu terburu-buru mengikuti konsep liberalisasi tersebut yang nantinya akan diikuti dengan World’s Mega-Carriers. Sebagaimana telah disebutkan bahwa cabotage adalah hak prerogatif dari suatu negara untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau pos secara komersial di dalam negeri suatu negara. Hak angkutan udara niaga dalam negeri tersebut diberikan kepada perusahaan penerbangan nasional, dan tidak diberikan kepada perusahaan asing manapun, kecuali atas pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan, misalnya Amerika Serikat pernah memberi hak cabotage kepada perusahaan penerbangan asing pada saat terjadi pemogokan besar besaran, demikian pula Australia. Garuda Indonesia Airways juga pernah diberi hak cabotage oleh Australia, dimana Garuda Indonesia berhak mengangkut penumpang, barang dan pos secara komersial di dalam negeri Australia. Dalam hal demikian, Australia juga dapat menuntut hak cabotage di wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan asas most-favour nation dalam GATS dan asas reciprositas dalam Hukum Internasional. Sejak pembahasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Indonesia telah mempertahankan asas cabotage. Pada saat itu terdapat dua perbedaan pendapat. Pihak yang menginginkan dilepaskannya asas cabotage berpendapat bahwa jika Indonesia tidak segera melepaskan asas cabotage, maka bila Eropa yang udah menjadi uni, Garuda Indonesia tidak dapat melakukan penerbangan ke Roma, di Italia ke Schippol di Belanda, karena rute tersebut merupakan cabotage negaranegara Uni Eropa. Sedangkan mereka yang menginginkan asas cabotage tetap dipertahankan berpendapat bahwa jika asas cabotage dilepaskan, maka perusahaan penerbangan asing dapat melakukan penerbangan dalam negeri Indonesia.

Apabila perusahaan asing beroperasi di dalam negeri Indonesia, maka perusahaan penerbangan nasional tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan penerbangan asing yang beroperasi di Indonesia. Alasan lainnya adalah angkutan udara di Eropa tidak akan menjadi negara Uni, sebab Belanda tidak mungkin menyerahkan traffic right kepada Negara Uni Eropa, karena sebagian besar pendapatan nasional Belanda berasal dari sector angkutan udara. Belanda adalah negara kecil yang memiliki posisi yang sangat menguntungkan karena sebagian besar angkutan udara dari atau ke 14 Eropa selalu melalui Schippol. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada tahun 1992 Indonesia tetap mempertahankan asas cabotage. Pembukaan akses pasar transportasi udara menuju open sky diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pelaksanaan pembukaan akses tanpa batas dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral yang pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilateral maupun multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity). Kebijakan open sky yang diterapkan di Indonesia diartikan sebagai terbukanya wilayah udara Indonesia atas berbagai penerbangan asing untuk melewati dan mendarat di bandara-bandara di wilayah Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar akan layanan di bidang industri jasa angkutan udara di Indonesia, pemerintah perlu mengambil langkah tepat untuk memanfaatkan peluang dengan memperkuat perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan jasa angkutan udara khususnya angkutan udara internasional. Arah kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal angkutan udara internasional adalah: 

1.Pertukaran traffic rights yang didasarkan atas prinsip resiprositas (timbal balik) dan saling menguntungkan tanpa mengorbankan kepentingan nasional;
2. Memperhatikan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar angkutan udara internasional;
3. Evaluasi dan penetapan rute-rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek ekonomi nasional, politik, komersil perusahaan angkutan udara nasional dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik; 
4.Mengikutsertakan perusahaan angkutan udara swasta nasional dalam persaingan di pasar angkutan udara internasional; 
5. Kebijakan pertarifan ditentukan dengan menggunakan standard dan mekanisme IATA (International Air Transport Association): dan 
6. Pemerintah tidak melakukan proteksi, tetapi hanya akan “campur tangan” apabila perusahaan angkutan udara nasional memperoleh perlakuan tidak wajar dan diskriminatif dari negara mitra wicara atau persaingan tidak wajar yang dilakukan oleh perusahaan negara mitra. Sementara kerja sama sub-regional yang sudah berjalan dan diikuti oleh pemerintah Indonesia antara lain: 1. Brunei – Indonesia – Malaysia – Philippines – East ASEAN Growth Association (BIMP-EAGA). Kerjasama ini terlahir pada 21 Februari 1995 dengan ditandanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bandar Seri Begawan. 

Berdasarkan MoU tersebut, dilakukan kerjasama bilateral antar anggota BIM-EAGA untuk sektor penerbangan yang bertujuan untuk melakukan penerbangan berjadual dan tidak berjadual (penumpang dan kargo) dengan hak kebebasan ketiga dan keempat ke 13 (tiga belas) points di kawasan BIMP-EAGA, namun dengan batasan kapasitas angkut, frekuensi penerbangan, dan jenis pesawat terbang yang digunakan. Dalam perkembangannya, kerjasama antar negara yang tergabung dalam BIMP-EAGA ini telah menerapkan hak kebebasan kelima (fifth freedom traffic rights), namun penerapannya masih case-by case basis (kasus per kasus); 2. Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT). Pertemuan ITG pertama kali diselenggarakan pada tanggal 20-21 Juni 2002 di Langkawi, Malaysia menghasilkan 4 (empat) Sub ITGs dan menunjuk negara yang berpartisipasi untuk menjadi koordinator dari tiaptiap Sub ITG. Indonesia dipilih menjadi koordinator Sub ITG sektor perhubungan udara. Dalam rangka meningkatkan efektifitas pertumbuhan ekonomi di kawasan IMT-GT dan untuk menghubungkan titik-titik bandara (points) di sub region, dalam pertemuan Sub ITG yang pertama pada tanggal 11-13 Oktober 2004 di Bukittinggi, Indonesia, telah disepakati Term of Reference untuk kerjasama angkutan udara. Forum diskusi yang terdiri dari delegasi dari Indonesia, Malaysia dan Thailand ini dibentuk dengan harapan untuk mempermudah pencapaian integrasi layanan angkutan udara di kawasan ASEAN sebagai refleksi dari ASEAN Vision 2020. Forum atau yang lebih dikenal sebagai Working Group Area ini membahas strategi dan realisasi kegiatan yang harus dilakukan oleh para negara anggota dalam kerangka liberalisasi sektor angkutan udara menuju ASEAN Open Sky 2015. Forum ini juga membahas strategi untuk meningkatkan partisipasi, kerjasama, dan koordinasi secara aktif dari berbagai pihak yang terkait dengan isu open sky policy, terutama membahas bagaimana meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dengan pihak swasta dari ketiga negara yang tergabung di dalamnya. Sub region ini diharapkan dapat membentuk hub untuk sektor angkutan udara yang dapat dijadikan benchmark bagi growth triangles lainnya di kawasan ASEAN. Dalam upaya liberalisasi jasa angkutan udara sebagai refleksi dari ASEAN Vision, pembentukan sub-sub regional sebagai bentuk kerjasama atau working group antar anggota ASEAN, dihadapkan pada berbagai kendala yang perlu mendapat perhatian dari para pemimpin negara anggota. Pertama, peningkatan air linkages antar points di kawasan BIMP-EAGA ini berjalan sangat lambat. 

Perusahaan penerbangan sendiri mengeluhkan mengenai pengembangan layanan di titik-titik di kawasan BIMP-EAGA sangat sulit dilakukan karena adanya kendala finansial. Kedua, belum terlibatnya stakeholders secara aktif dan integratif dalam BIMP-EAGA, seperti perusahaan penerbangan, pariwisata dan stakeholder lain. Ketiga, ketidakseimbangan jumlah frekuensi penerbangan dari negara A ke negara B. Kendala lain adalah kesiapan infrastruktur airport di negara-negara anggota. Sementara tantangan utama yang dihadapi dalam kerjasama BIMP-EAGA adalah pertama, bagaimana menarik investasi asing (di luar ASEAN) untuk masuk ke kawasan BIMP-EAGA di era kompetitif. Kedua, BIMP-EAGA juga diharapkan dapat lebih mematangkan fungsi, peran dan kewenangannya, agar keputusan yang dihasilkan dapat lebih efektif dan efisien. Tantangan ketiga bagi kerjasama ini adalah bagaimana meningkatkan market demands penerbangan ke dan dari negara anggotanya, karena kesuksesan open sky policy sangat bergantung pada market demands. Tantangan lain bagi kerjasama sub regional ini adalah bagaimana mengkoordinasikan kerjasama antar berbagai pihak terkait, seperti tercermin dalam development strategies. Selain itu, pengembangan industri pariwisata juga menjadi tantangan yang tidak kalah pentingnya bagi negara anggota, mengingat pariwisata sebagai salah satu faktor penunjang penting bagi terlaksananya liberalisasi angkutan udara. Kebijakan open sky juga tidak terlepas dari kebijakan (national policies) tiap-tiap negara yang bersangkutan. Kerjasama dan koordinasi pihak-pihak yang terkait di dalamnya, kerjasama antar institusi, juga menjadi kunci kesuksesan pelaksanaan kebijakan ini. Bagi pemerintah Indonesia sendiri, saat ini masih menghadapi beberapa kendala dalam upaya meningkatkan market demands. Pariwisata di Indonesia, yang menjadi daya tarik unggulan dalam menarik wisatawan mancanegara mengalami penurunan yang cukup drastis. Kesan masyarakat dunia terhadap kondisi umum politik dan sosial Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri pariwisata Indonesia. Masalah lain adalah perangkat hukum yang belum terintegrasi
dengan baik. Industri penerbangan sipil tidak dapat berkembang hanya dengan kebijakan yang dibuat oleh Departemen Perhubungan karena aspek-aspek hukum dan operasional penerbangan sipil sangat tergantung pula pada kebijakan yang dibuat oleh departemen terkait. Oleh karena itu selama departemen-departemen
terkait kebijakannya hanya terfokus pada pencapaian target masing-masing, maka industri penerbangan sulit berkembang.

Peningkatan kualitas dan kapasitas maskapai penerbangan serta jasa angkutan udara Indonesia perlu ditingkatkan agar dapat bersaing dengan negara anggota ASEAN lainnya. Kebijakan yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan keamanan dan keselamatan penduduk Indonesia dan warga negara asing. Harmonisasi dan koordinasi antara instansi terkait di Indonesia, khususnya instansi pemerintah dan swasta yang berhubungan langsung dan terlibat dalam pengembangan dan pembangunan kebijakan udara terbuka (open sky policy) perlu ditingkatkan dan disinergikan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh masingmasing instansi, seperti Departemen Perhubungan, Departemen Pariwisata, Departemen Pekerjaan Umum, maskapai penerbangan, Angkasa Pura dan instansi lainnya saling mendukung dan membangun suatu sistem angkutan udara yang memiliki daya saing global.


Nama/NPM: Nurul Rochmah/25211407

Kelas/Tahun: 2EB09/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar