Minggu, 23 Desember 2012

Review 1: ABSTRACK, PENDAHULUAN


Aspek Hukum Pemeriksaan Koperasi
Ditulis oleh Ria Herdhiana

Penulis: Dra. Hj. Ria Herdhiana, M.Si. (dosen tetap pada Universitas Langlangbuana di Bandung)

Abstrack

          Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik yang dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi, pengelolaan yang bersifat terbuka, dan melindungi pihak yang berkepentingan dengan cara pemeriksaan (audit) terhadap laporan keuangan dan laporan lainnya sesuai dengan keperluan koperasi. Pemeriksaan Koperasi ini dilaksanakan dalam rangka Good Corporate Governance yang bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, perangkat koperasi khususnya pengurus dan pengawas haruslah yang benar-benar memahami tentang akuntansi koperasi yang sesuai standar yang berlaku umum, begitupun dengan anggota koperasi sebagai penerima pertanggungjawaban manajemen koperasi. Sedangkan untuk audit internal yang terdapat dalam suatu organisasi koperasi harus benar-benar memahami Standar Auditing yang berlaku umum dan haruslah berjiwa independen. Kata Kunci: Pemeriksaan koperasi, Good Corporate Governance.

A.Pendahuluan 

        Keberadaan koperasi di Indonesia mempunyai landasan hukum yang kuat, hal itu terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang merupakan penjabaran dari Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”, yang dalam penjelasannya dipaparkan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi.  Suatu badan usaha koperasi yang merupakan  merupakan badan hukum diharapkan oleh pemerintah menjadi sokoguru  perekonomian di Indonesia sebagai upaya untuk memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.  Badan Usaha koperasi didirikan oleh sekelompok individu (berbentuk Koperasi Primer) atau sekelompok badan hukum koperasi (berbentuk Koperasi Sekunder) yang biasanya memiliki kepentingan ekonomi yang sama. Koperasi  merupakan suatu badan hukum yang merupakan suatu entitas ekonomi yang memiliki mekanisme kerja yang utuh dan membangun suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen di dalam organisasi koperasi serta berinteraksi satu sama lain dan bergerak ke arah pencapaian tujuannya dengan adanya aturan yang telah ditetapkan baik berupa undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku ataupun dari Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang telah disepakati dalam Rapat Anggota.  Sistem suatu organisasi koperasi dibangun berdasarkan keputusan seluruh anggota untuk menyelenggarakan aktivitas ekonomi bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 
         
        Kesatuan kegiatan ekonomi dapat terlihat di dalam aktivitas organisasi koperasi  yang mencerminkan posisi anggota adalah sebagai pemilik dan sekaligus pelanggannya.  Organisasi koperasi merupakan suatu badan hukum yang dalam menjalankan berbagai fungsi organisasi dan kegiatan ekonominya akan selalu berhubungan dengan masalah hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini akan berhubungan dengan masing-masing individu sebagai anggota baik itu secara internal (pada dirinya sendiri) ataupun secara eksternal (pada anggota yang lain). Seorang anggota koperasi yang tidak menggunakan haknya akan merugikan diri sendiri dan tidak dilaksanakan kewajibannya  akan mengakibatkan kerugian pada orang lain, sehingga mengenai hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dari setiap komponen didalam organisasi koperasi telah diatur secara normatif dengan jelas dan terperinci yaitu dalam Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Selain norma-norma yang tertulis biasanya terdapat pula aturan-aturan yang tidak tertulis misalnya etika atau kepatutan yang perlu diperhatikan dan ditegakan di dalam prakteknya.  Gambaran realitas praktik organisasi koperasi menurut kondisi apa adanya dari perangkat organisasi koperasi merupakan rangkuman tanggung jawab pengurus dan pengawas koperasi yang diangkat serta diberikan mandat oleh seluruh anggota untuk melaksanakan berbagai aturan dan keputusan-keputusan dari Rapat Anggota. Pada akhirnya pengurus dan pengawas koperasi harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya kepada seluruh anggota dalam  Rapat Anggota Tahunan.  Pengurus dan Pengawas yang dalam hal ini dianggap sebagai manajemen koperasi harus mampu menunjukan kepada serluruh anggota bahwa setiap tindakannya selalu mengarah terhadap pencapaian tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotannya dan dijalankan sesuai dengan  Undang- Undang Perkoperasian yang berlaku serta seluruh kinerja koperasi harus sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disahkan. Manajemen koperasi setiap jangka waktu tertentu harus dapat membuat laporan keuangan  koperasi dan laporan operasionalnya yang harus dipertanggungjawabkan pada seluruh anggota dalam Rapat Anggota Tahunan.  

           Fenomena yang sering terjadi dalam laporan yang dibuat oleh seseorang atau suatu manajemen baik itu laporan keuangan ataupun laporan non keuangan  cenderung tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa faktor yang diantaranya adalah adanya ketidak jujuran yang dimiliki oleh penyusun laporan keuangan sehingga sering terjadi pemanipulasian data yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan kadang kelemahan tersebut ditunjang pula oleh ketidak tahuan atau ketidak pahaman tentang standar pembuatan laporan keuangan tersebut baik yang menyusunnya maupun penggunanya. Untuk meyakinkan kebenaran laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen koperasi, didalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian  yang berbunyi , “Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik”, maka dalam hal ini pengawas dan anggota koperasi berhak untuk meminta auditor selaku pemeriksa kinerja keuangan organisasi koperasi yang diberikan  wewenang penuh untuk memeriksa keabsahan laporan keuangan yang telah dibuat oleh manajemen koperasi yang bersangkutan jika pengawas tidak mampu melakukannya. 

B. Ruang Lingkup

           Pemeriksaan Istilah auditing merupakan suatu proses pelaksanaan audit yang dalam hal ini digunakan definisi dari Mulyadi (1998:7) yang menyebutkan bahwa:  “Secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan-kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan Definisi dari Mulyadi(1998:7) tentang  auditing secara umum tersebut memiliki unsur-unsur penting yang dapat diuraikan sebagai berikut : Suatu Proses Sistematik artinya auditing merupakan suatu rangkaian langkah yang direncanakan, terorganisasi, dan bertujuan.  Untuk Memperoleh Dan Mengevaluasi Bukti Secara Objektif artinya proses pengauditan ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat individu atau badan usaha, serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut.  Pernyataan Mengenai Kegiatan Dan Kejadian Ekonomi artinya kegiatan dan kejadian ekonomi yang dimaksud adalah hasil proses Akuntansi yang menghasilkan suatu pernyataan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan.  

        Menetapkan Tingkat Kesesuaian artinya pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan data tersebut dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan dengan kriteria yang telah ditetapkan.  Kriteria Yang Telah Ditetapkan artinya kriteria atau standar yang digunakan sebagai dasar ubtuk menilai pernyataan (hasil proses akuntansi) dapat berupa:  
1. Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif. 
2. Anggaran atau prestasi lain yang ditetapkan oleh manajemen.  
3. Prinsip akuntansi berterima umum.  

         Penyampaian Hasil artinya Penyampaian hasil auditing sering disebut dengan atestasi yang disampaikan secara tertulis dalam bentuk laporan audit yang dapat menaikan atau menurunkan tingkat kepercayaan pemakai informasi keuangan.  Pemakai Yang Berkepentingan artinya dalam dunia usaha yang termasuk kedalam pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan. Menurut pendapat Munkner (1987:125) definisi dari Pemeriksaan yaitu:  & Pengertian umum Pemeriksaan (audit) berarti pengujuan secara sistematis atas buku-buku dan dokumen, yang dibuat perusahaan selama kegiatan perusahaan, dengan maksud memberikan penilaian apakah buku-buku dan perkiraan-perkiraan buku besar diselenggarakan secara: benar, lengkap, didukung oleh bukti-bukti secara mestinya dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum) dan bertujuan memberikan pendapat, apakah pembukuan dan laporan keuangan yang disajikan memberikan gambaran yang benar dan wajar mengenai perusahaan tersebut. Dari kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan (audit) merupakan suatu proses pengevaluasian tentang laporan keuangan yang dibuat oleh suatu perusahaan dari mulai adanya dokumen yang  merupakan bukti dari sebuah transaksi sampai denag pembuatan laporan keuangan  yang dicatat dengan menggunakan pencatatan yang bersumber pada prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum.

C. Pelaksana dan Jenis Pemeriksaan (Audit)  

       Dalam perusahaan yang berbadan hukum, manajemen perusahaan berkewajiban untuk dapat melakukan pertanggungjawaban operasional perusahaan baik tentang laporan keuangannya ataupun tentang non keuangannya. Perusahaan selain dapat meminta pelaksana jasa dari akuntan publik sebagai Audit Ekstern yang biasanya dianggap lebih netral dan objektif  dapat juga memiliki karyawan yang bertugas sebagai  pelaksana pemeriksa Kinerja Koperasi yang disebut dengan Audit Intern yang tentu saja harus bebas mental (independen). Menurut Hadiwidjaya (1996:172) bahwa, Bentuk pemeriksaan di dalam sebuah organisasi  koperasi  dapat digunakan istilah Internal Auditor Koperasi kepada karyawan koperasi di bawah naungan pengurus sedangkan istilah Ek sternal Auditor adalah Badan pemeriksa dari laporan pengurus untuk dilaporkan kepada anggota koperasi  yang dalam perangkat organisasi koperasi disebut dengan Pengawas Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penempatan istilah Eksternal Auditor adalah badan pengawas yang memiliki tugas untuk memeriksa kewajaran laporan keuangan koperasi  yang berada diluar kegiatan usaha pengurus bukan Akuntan Publik kecuali pengawas memiliki keterbatasan untuk melaksanakannya.  Profesi akuntan publik yang dikenal oleh masyarakat sebagai jasa audit hadir karena berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum di suatu negara yang memerlukan pengakuan tentang keabsahan laporan keuangannya yang akan digunakan untuk tujuan tertentu.  Jenis Audit umumnya dibagi menjadi 3 menurut Mulyadi (1998:28) yaitu:

1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit). Audit yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut yang harus sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Laporan Audit ini dibagikan kepada para pemakai Informasi Keuangan. 
2.Audit Kepatuhan (Compliance Audit). Audit yang tujuannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria.  
3. Audit Operasional (Operational Audit). Audit yang merupakan pemantauan secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu.

           Tujuan dari audit operasional ini yaitu untuk: mengevaluasi kinerja; mengidentifikasi kesempatan untuk peningkatan; dan membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Dalam suatu perusahaan koperasi ataupun bukan koperasi ketiga tipe audit diatas sebaiknya memang dilakukan, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua perusahaan melakukan hal itu melainkan hanya  dilakukan sebagian ataupun terkadang  tidak sama, sekali hal ini  dikarenakan adanya  keterbatasan yang dimiliki oleh setiap perusahaan. 

D.   Penerapan Good Corporate Governance Dalam  Organisasi Koperasi

       Risiko merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia usaha. Salah satu yang perlu dilakukan agar menghidari terjadinya risiko yang tidak diinginkan maka pemeriksaan (audit) merupakan salah satu cara untuk memproteksinya. Pemeriksaan yang dilakukan didalam suatu badan usaha harus memiliki kekuatan hukum yang tidak dapat diganggu gugat karena berhubungan dengan suatu laporan keadaan  sebenarnya dan seadanya tentang sesuatu hal yang diperiksa.  Oranisasi koperasi yang merupakan suatu badan usaha yang memiliki stakeholders yang dalam proses kerjanya bertujuan untuk mensejahterakan anggota, dengan meminimalkan risiko yang tidak diinginkan dengan cara yang telah diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan sistem kerja koperasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, alangkah lebih baiknya jika dapat pula mengikuti peraturan pemerintah yang sebenarnya ditujukan kepada BUMN dengan penerapan Good Corporate Governance nya.                          
      
            Definisi good corporate governance menurut Forum for Corporate Governance of Indonesia (FCGI) dalam Soembodo dkk (2003:26)yaitu, seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara, pemegang, pengurus (pengelola) perusahan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Definisi ini jika diterapkan di dalam suatu organisasi koperasi sebenarnya telah terdapat dalam Anggaran Dasar ataupun Anggaran Rumah Tangga yang pada prinsipnya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Jika dilihat dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang telah ditetapkan, koperasi yang merupakan sokoguru perekonomian di negara Indonesia sebaiknya menggunakan prinsip-prinsip tersebut karena bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)  Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini kantor kementrian BUMN telah mengeluarkan keputusan yang mewajibkan setiap BUMN menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance, yang terdapat dalam Keputusan Mentri BUMN No. Kep-117/M- MBU/2002 Tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Dalam keputusan ini dijabarkan tentang prinsip-prinsip good corporate governance yang dirumuskan dalam pasal 3 yang berbunyi:

    Prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang dimaksud dalam Keputusan ini meliputi:

1.Transparasi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
2. Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;  
3.Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif 
4.Pertanggung jawaban yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; 
5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 

        Dari isi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip penerapan GCG berisikan tentang suatu proses  yang berorientasi untuk meningkatkan keberhasilan usaha suatu badan usaha dan  penerapan akuntabilitas perusahaan yang bertujuan untuk memperhatikan kepentingan stakeholder dengan berlandaskan kepada aturan hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya suatu perjanjian ataupun peraturan perundang-undang yang berlaku. Prinsip-prinsip di atas dalam kehidupan keorganisasian koperasi memang seharusnya dilaksanakan seluruhnya, karena jika prinsip-prinsip tersebut  terlaksana dengan baik maka hasil dari pemeriksaan terhadap kinerja organisasi koperasi yang dilakukan oleh seorang auditor akan melaporakan keberadaan organisasi koperasi baik itu dalam segi finansial ataupun tingkat kesehatannya dalam kategori yang tidak mengalami penyimpangan-penyimpangan.  E. Kedudukan Hukum Pemeriksaan Dalam Organisasi Koperasi 
1. Sumber hukum  Sumber hukum pemeriksaan dalam organisasi koperasi terdiri dari: Pasal 40 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, aturan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam Penyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang sistem pencatatan akuntansi koperasi dan Standar Profesional Akuntan Publik tentang standar auditing dan juga keputusan-keputusan menteri yang menunjang tentang diwajibkannya pelaksanaan audit didalam organisasi koperasi.
2.Akuntabilitas Koperasi sebagai hubungan hukum antara perangkat organisasi koperasi dengan anggotanya  Koperasi merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum dan dimiliki oleh anggota yang merupakan pemakai jasa (users) sedangkan badan usaha lain (perusahaan-perusahaan) pada dasarnya dimiliki oleh para penanam modalnya (investor). Perbedaan kepemilikan ini yang merupakan sumber dari perbedaan antara badan usaha koperasi dengan perusahaan- perusahaan bukan koperasi Selain perbedaan dalam tujuannya.          Badan usaha yang bukan  koperasi biasanya bertujuan untuk mendapatkan laba yang setinggi-tingginya  dengan modal yang sekecil-kecilnya cenderung mendekati prinsip ekonomi, akan tetapi di dalam organisasi koperasi tujuan utamanya bukan untuk mencari laba  yang setinggi-tingginya akan tetapi berupaya untuk mensejahterakan anggotanya.  Upaya yang dilakukan oleh suatu organisasi koperasi  dalam mensejahterakan anggotanya tidak dapat lepas dari besarnya partisipasi yang diberikan anggota. Keaktifan seorang anggota dapat diwujudkan antara lain dengan bersedianya secara pribadi menjadi pengurus atau pengawas koperasi yang  harus memiliki akuntabilitas yang baik .

        Pengertian akuntabilitas tersebut menurut Dep KUKM (2003:5)”Akuntabilitas diartikan sebagai suatu kemampuan mempertanggungjawabkan atas tugas-tugas yang telah dijalankan terhadap pihak-pihak yang seharusnya atau patut menerima pertanggungjawaban.& Anggota koperasi yang merupakan pemilik mutlak suatu organisasi koperasi harus mendapatkan informasi tentang keberadan koperasi yang dapat dilihat dalam laporan pengurus yang berisikan tentang laporan keuangan ataupun laporan tentang kegiatan usaha koperasi yang biasanya diberikan kepada para anggota dalam setiap Rapat Anggota. Suatu badan usaha dalam proses organisasinya harus memiliki catatan yang berhubungan dengan keuangan ataupun non keuangan secara terinci dan dapat dipertanggungjawabkan yang dalam hal ini didalam organisasi koperasi pertanggungjawaban ini harus dilakukan kepada seluruh anggota yang biasanya dilakukan dalam kurun waktu satu tahun satu kali dalam rapat anggota tahunan. 

     3. Keabsahan  Hukum Pemeriksaan (Audit) Koperasi  Laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh pengurus seharusnya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disetujui oleh anggota, akan tetapi kalaupun terdapat penyimpangan harus disetai dengan alasan yang jelas dan ada pembuktiannya, sehingga disinilah diperlukannya auditor untuk mengaudit laporan yang telah dibuat oleh pengurus koperasi tersebut. Proses pemeriksaan  hasil laporan akhir dari pengurus koperasi dapat dilakukan oleh badan pemeriksa yang ada dalam organisasi koperasi (Internal Audit) yang diangkat oleh pengawas dengan persetujuan anggota atau  dilakukan  oleh pengawas sendiri yang merupakan salah satu perangkat organisasi koperasi, dengan catatan keduanya memiliki pengetahuan tentang proses pemeriksaan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan juga memiliki sifat yang jujur dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun (indipenden). Sedangkan jika menggunakan pemeriksa dari luar organisasi koperasi (Eksternal Audit) harus meminta jasa dari Akuntan Publik yang independen.  Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam organisasi koperasi yaitu  “Pemeriksaan  yang terbagi menjadi dua yaitu pemeriksaan Formal dan pemeriksaan Material” menurut pendapat Munkner (1987:136). Pendapat tersebut pada prinsipnya  hampir sama dengan penggolongan audit menurut Mulyadi, akan tetapi Munkner memisahkan pemeriksaan itu menjadi 2 jenis sedangkan Mulyadi, menjadi 3 jenis.  Perbedaan jenis-jenis pemeriksaan keuangan yang dapat dilakukan oleh seorang pemeriksa menurut Munkner (1987: 137)  yaitu: 

a.Pemeriksaan Keuangan Formal yaitu pemeriksaan yang berkenaan dengan ketetapan matematis hasil pengelolaan manajemen yang diperlihatkan dalam neraca keuangan.  
b. Pemeriksaan Material yaitu pemeriksaan yang berkenaan dengan penilaian yang objektif tentang kualitas pengelolaan manajemen selama periode tertentu.  

       Terhadap laporan keuangan koperasi  yang digolongkan kedalam pemeriksaan formal hukum yang berlaku yaitu Pernyataan Standar Akuntansi   No. 27 (Revisi 1988) Tentang Akuntansi Perkoperasian yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia Per 1 Oktober  2004 dari halaman 27.1 sampai dengan 27.18 yang Merupakan panduan proses pencatatan keuangan yang dimulai dari adannya transaksi sampai menghasilkan laporan keuangan yang berlaku umum. Sedangkan pelaksanaan pemeriksaannya baik yang dilakukan oleh internal audit ataupun eksternal audit harus berdasarkan Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 02 sampai dengan PSA No. 58 yang  dikeluarkan  oleh Ikatan Akuntan Indonesia  Per 1 Agustus 1994 yang berisikan tentang aturan-aturan pengauditan yang telah berlaku umum. Pemerksaan Material seharusnya dilakukan pula pada suatu organisasi koperasi meskipun penilaiannya sulit, karena berhubungan dengan pengambilan keputusan atau kebijaksanaan yang cenderung sering berubah-ubah sesuai dengan keadaan pada saat dipilihnya alternatif yang terbaik sesuai dengan pertimbangan yang akurat. Kedua jenis pemeriksaan ini sangat dibutuhkan dalam penilaian klasifikasi Koperasi yang ditetapkan dalam 4 (empat) peringkat sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia No. 129/KEP/M.KUKMI/XI/2002 Tentang Pedoman Klasifikasi Koperasi.  Dalam Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil, Dan Menengah Republik Indonesia tentang petunjuk Pelaksanaan Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam Dan Unit Simpan Pinjam No 194/KEP/M/IX/1988  25 September 1998  Point V.1 Tentang Faktor Lain Yang Mempengaruhi Penilaian terdapat peraturan yang dapat menurunkan satu tingkat kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Usaha Simpan Pinjam yang diantaranya salah satu faktor yang  tercantum dalam huruf e. dan  berbunyi: “jika mempunyai volume pinjaman diatas Rp. 1.000.000.000,- (Satu milyar) tetapi tidak diaudit oleh akuntan publik atau koperasi jasa audit”. Kalimat diatas memiliki arti bahwa jika suatu Koperasi Simpan Pinjam dan Usaha Simpan Pinjam telah mencapai  volume pinjamannya melebihi Rp. 1.000.000.000,- dan tidak melakukan pemeriksaan oleh akuntan publik atau koperasi jasa audit maka akan menurunkan tingkat kesehatan yang telah dimilikinya hal ini akan beredampak terhadap penilaian klasifikasi koperasi yang dilakukan oleh  Kelompok Kerja yang dibentuk oleh Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah beserta jajarannya. 

         Dari paparan diatas merupakan salah satu contoh tentang kedudukan hukum pemeriksaan dalam koperasi itu dianggap penting dan menjadi wajib karena berpengaruh dalam penilaian tingkat kesehatan suatu Koperasi simpan Pinjam dan Usaha Simpan Pinjam karena jika  memiliki   volume  usaha diatas Rp. 1 Milyar dalam 1 tahun maka termasuk klasifikasi golongan Papan Atas dan merupakan klasifikasi tertinggi yang tercantum dalam Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah No. 351/KEP/M/XII/1998 Tentang Petunjuk  Pelaksanaan  Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi Tanggal 17 Desember !998.  Hasil dari suatu pemeriksaan Keuangan dalam suatu organisasi koperasi baik yang dihasilkan oleh audit intern maupun audit ekstern pada prinsipnya memiliki fungsi yang sama untuk memberikan laporan tentang keabsahan dan kewajaran Laporan Keuangan tersebut yang akan disampaikan pada anggotanya, akan tetapi jika pemeriksaan Keuangannya dilakukan oleh audit eksternal dalam hal ini akuntan publik maka kemampuan laporan hasil pengauditan dapat digunakan lebih luas lagi yaitu antara lain kepada Bank jika akan meminjam modal atau kepada Investor sebagai penanam modal dan lain sebagainya.  Hasil laporan audit memiliki keabsahan hukum, karena telah melakukan proses pembuktian dari hasil pemeriksaan dengan memberikan laporan pendapat yang di terbitkan oleh auditor yang independen dengan memiliki kekuatan hukum yang kuat. 

        Proses pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan standar auditing yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia dengan cara memeriksa semua proses finansial dari mulai terjadi transaksi (perjanjian) yang menghasilkan bukti transaksi sampai pembuatan laporan  keuangan koperasi yang sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27 Tentang Akuntansi Perkoperasian yang meliputi Neraca, Perhitungan Hasil Usaha, Laporan Arus Kas, Laporan Promosi Anggota, dan catatan atas laporan keuangan yang diterima umum dengan seluruh hasil sesuai dengan kenyataannya.  F. Penutup 1.      Kesimpulan  a. Aturan Hukum Pemeriksaan Koperasi terdapat dalam pasal 40 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian  yang berbunyi bahwa Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik yang dalam penjelasannya dipaparkan  bahwa pelaksanaan pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi, pengelolaan yang bersifat terbuka, dan melindungi pihak yang berkepentingan dengan cara pemeriksaan (audit) terhadap laporan keuangan dan laporan lainnya sesuai dengan keperluan koperasi.  b. Aturan hukum yang lain yang digunakan sebagai dasar proses pemeriksaan dalam Koperasi yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no. 27  Per 1 Oktober 2004 (Revisi 1998) Tentang Akuntansi Perkoperasian yang harus digunakan dalam laporan material suatu organisasi koperasi. Sedangkan untuk auditornya yaitu harus sesuai dengan Standar Auditing  yang terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik Per 1 Agustus 1994 yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.  c. Penerapan Good Corporate Governance dalam koperasi sangatlah baik, karena  dilihat dari prinsip-prinsipnya telah menggambarkan bahwa jika suatu organisasi koperasi mengikuti penerapan GCG  yang bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan maka akan terjadi pula dalam suatu organisasi koperasi dengan dilihatnya hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor intern ataupun ekstern yang menunjukan laporan pemeriksaan yang hasilnya diharapkan tanpa penyimpangan.  2.  Saran  Berdasarkan simpulan di atas maka disarankan agar perangkat koperasi khususnya pengurus dan pengawas haruslah yang benar-benar memahami tentang akuntansi koperasi yang sesuai standar yang berlaku umum, begitupun dengan anggota koperasi sebagai penerima pertanggungjawaban manajemen koperasi. Sedangkan untuk audit internal yang terdapat dalam suatu organisasi koperasi harus benar-benar memahami Standar Auditing yang berlaku umum dan haruslah berjiwa independen. 
     
       Daftar Pustaka  Hadiwidjaja. 1996. Sekilas tentang Modal dan Kemandirian Koperasi. Bandung: Penerbit Pionir Jaya.  IAI. 1996. Standar Profesional Akuntan Publik. Yogyakarta: Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Bagian Penerbitan.  IAI. 2004. Standar Akuntansi Keuangan . Jakarta: Penerbit Salemba Empat.  Kementrian KUKM RI. 2003. Pedoman Akuntabilitas Karakteristik Koperasi. Jakarta: Penerbit Kementrian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia.  Mulyadi, Kanaka. 1998. Auditing. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.  Munkner, Hans,H. 1987. Hukum Koperasi . Terjemahan Abdulkadir Muhammad. Bandung: Penerbit Alumni.  Sembodo dkk. 2003. Corporate Governance. Jakarta: Penerbit PT. Prenhallindo  Sumber-Sumber Lain  Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian.  Keputusan Mentri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 194/Kep/M/IX/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Kesehatan KSP dan USP.  Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil  dan Menengah Republik Indonesia No. 351/KEP/M/XII/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi..  Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 129/Kep/M.KUKMI/XI/2002 Tentang Pedoman Klasifikasi Koperasi.  Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara

Nama/NPM: Nurul Rochmah/25211407

Kelas/Tahun: 2EB09/2010

Review 3: KESIMPULAN


Rancangan Bangunan Sistem Informasi Koperasi
(Studi Kasus Pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia “Teknik Sejahtera)

Mochammad Arifin, S.Pd, M.Si, MOS
Sekolah Tinggi Manejemen Informatika & Teknik Komputer (Stikom) Surabaya

Kesim.pulan

            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan sistem informasi keungan yang telah dibuat secara terkomputerisasi  maka semua proses data akan menjadi lebih cepat. Mampu mengurangi beban kerja bagian keungan yang sebelum sistem ini mencatat seluruh transaksi termasuk penjualan kedalam sebuah buku Jurnal.

            Proses pembuatan laporan keungan juga dapat dilakukan dengan cepat dan akurat tampa melalui proses yang panjang. Hal tersebut tentu sangat memudahkan kinerja ketua koperasi dalam pengambilan keputusan. Bagaimanapun dengan batuan komputer dan sistem yang baik berbagai pekerjaan akan terasa lebih cepat. Semua bergantung pada pemakai dalam memaksimalkan sistem dan sumber daya yang ada.


Nama/NPM: Nurul Rochmah/25211407

Kelas/Tahun: 2EB09/2010

Review 2: LANDASAN TEORI


Rancangan Bangunan Sistem Informasi Koperasi
(Studi Kasus Pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia “Teknik Sejahtera)

Mochammad Arifin, S.Pd, M.Si, MOS
Sekolah Tinggi Manejemen Informatika & Teknik Komputer (Stikom) Surabaya

Landasan Teori

1.     Akuntansi
Dalam arti yang sebenernya, akuntansi mengacu pada dua hal yaitu kegunaan dan aktivitasnya. Pengertian yang menekan pada kegunaan: akuntansi adalah suatu disiplin memberikan informasi pokok menmgenai pelaksanaan yang efisien dan evaluasi organisai. Sedangkan pengertian yang menekan aktivitas: akuntansi adalah aktivitas mengumpulkan, menganalisa, mengklasifikasikan, mencatat, mengikhtisarkan, dan melaporkan hasil-hasil dari aktivitas ekonomi perusahaan sebagai informasi.

2.     Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum koperasi dengan berlandaskan kegiatannya sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Pengertian tersebut sesuai dengan UU koperasi No. 25 tahun 1992 Bab 1.
Selain itu, tujuan utama dibentuk koperasi juga telah dijelaskan dalam undang-undang koperasi No.25 Tahun 1992 Bab II pasal 3, Bahwa tujuan utama koperasi adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan pancasila dan UUD 1945.Purwaningsih (2001) menyatakan bahwa : “menurut Undang-Undang Koperasi No.25 Tahun 1992 Bab II pasal 4.

Fungsi dan peran koperasi sebagai berikut:

a.     Membangyun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta meniungkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka,Berperan serta secara aktif dalam mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.

c.      Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai suko gurunya Berusaha mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.”

3.     Pencatatan Akuntansi Koperasi

Pada dasarnya siklus akuntansi koperasi t idak berbeda dengan siklus akuntansi perusahaan jasa dan
perusahaan dagang. Koperasi sebagai unit ekonomi mempunyai karakteristik tersendiri dibanding badan usaha lainnya. Perbedaan itu terjadi karena koperasi merupakan perusahaan yang berorientasi pada keuntungan (lembaga ekonomi) sekaligus bersifat nonprofit (lembaga sosial).

            Siklus akuntansi adalah urutan atau prosedur yang digunakan dalam proses pencacatan dan pelaporan transaksi keungan yang terjadi dalam suatu perusahaan atau organisasi. Siklus akuntansi dapat dibgi tiap tahap, yaitu tahap pencatatan, pengikhtisatran.

Laporan keungan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

1.     Neraca
Neraca adalah laporan yang sistematis tentang aktiva, hutang serta modal pada satu saat tertentu. Tujuan untuk menunjukan posisi keunagan suatu perusahaan pada tanggal tertentu biasanya pada waktu tutup buku/akhir tahun fiscal perusahaan.

2.     Lapran Laba Rugi
Laporan laba/rugi merupakan laporan yang sistematis tentang pendapatan, laba rugi, yang diperoleh suatu perusahaan selama periode tertentu.

  Nama/NPM            : Nurul Rochmah/25211407
   Kelas/tahun          :2EB09/2012

Review 1: ABSTRACK DAN PENDAHULUAN



Rancangan Bangunan Sistem Informasi Koperasi
(Studi Kasus Pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia “Teknik Sejahtera)
Mochammad Arifin, S.Pd, M.Si, MOS
Sekolah Tinggi Manejemen Informatika & Teknik Komputer (Stikom) Surabaya

Abstrack
Manual processing data will cause manager delays in taking decision, because there is no enaough information to support decision making. Because of this reason, any company to succes an well develop one factor that gives contribution is to use good information system that computer as a tool. As in “teknik sejahtera” coperation, save and deposit, and installment value open occur reccord mistake and late in financial report. By using save, deposit and financial report tahft based on computercan minimize mistake that open occur, and hdelp the manager in making decision making so cooperation can lifelong.
Keywords: cooperation, accounting, financial report, deposit, save, installment

Pendahuluan
            Koperasi teknik sejahtera merupakan salah satu koperasi yang mempunyai usaha simpan pinjam dan usaha dagang. Sejak pertama kali didirikan koperasi ini telah memfokuskan dalam bidang usaha simpan pinjam, dimana hasil simpanan para anggota koperasi selain dipinjamkan kembali juga digunakan untuk usaha dagang atau di sebut “usaha toko”.

            Pelayanan yang sekarang berjalan masih dilakukan dengan cara manual, hal tersebut dapat dilihat dari proses transaksi simpan, pinjam, pembayran angsuran dan pengolahan dimana dengan pross yang manual sering terjadi kesalahan pencatatan, arsip yang sulit di cari, dan lain sebagainya.

            Untuk meningkatkan pelayanan anggota, koperasi berusaha memudahkan dengan mempersiapkan teknologi informasi khususnya sistem informasi akuntasi. Sistem ini bertujuan untuk memudahkan koperasi dalam mengolah data keuangan.

Nama/NPM  : Nurul Rochmah/25211407

Kelas/tahun :2EB09/2012

Review 5: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


TINJAUAN PROSPEK KOPERASI INDONESIA DARI PERSPEKTIF DISIPLIN
ILMU MANAJEMEN BISNIS

Burhanuddin


Kesimpulan Dan Rekomendasi
Kesimpulan

                  Berdasarkan hasil kajian empiris ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi dilihat  dari  perspektif  ilmu   manajemen     bisnis  sesuai  dengan    enam   pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :

1).   Dari  sudut   pandang  disiplin   ilmu  manajemen  bisnis,  perubahan      lingkungan bisnis global  mendorong  organisasi  koperasi  untuk  menerapkan  disiplin  ilmu manajemen      modern     yang   mendorong      reformulasi    tujuan   dan   strategi, restrukturisasi,  dan  realokasi  sumberdaya     kearah  yang   lebih  inovatif  untuk menciptakan keunggulan kompetitif  di pasar. Ditinjau  dari perspektif tersebut praktek manajemen di koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan menjadi tidak relevan dengan tuntutan jaman. 

2).   Perkembangan      koperasi  di  Indonesia   yang   cenderung    lamban   atau  bahkan stagnant   ditengarai   oleh  kelemahan    fundamental    dalam   penerapan    fungsi-fungsi manajemen sehingga proses manajemen terhambat. Proses perencanaan berlangsung  tanpa  mengindahkan  kaidah  perencanaan  yang  baik  dan  benar.

Orientasi perencanaan lebih kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya visi perencanaan    jangka    panjang   untuk   mengantisipasi     perubahan    lingkungan bisnis. Kondisi ini menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan manfaat  ekonomi  yang  lebih  baik  bagi  para  anggotanya.  Pengelolaan  usaha koperasi   banyak   yang   tidak  efisien  dan  belum   sesuai  dengan    kepentingan anggotanya.    Koperasi    terkesan   hanya    menjalankan    fungsi   dagang    tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah.

3). Kondisi  masyarakat  Indonesia  dewasa ini  yang  sudah  semakin  pragmatis dan rasional  akan   beralih  kepada   lembaga    ekonomi    yang   mampu    memberikan manfaat   ekonomi    yang  lebih   baik.   Mengamati    fenomena  yang     ada,  dapat diprediksi  bahwa beberapa jenis koperasi  akan  kehilangan  maknanya  sebagai lembaga   ekonomi.    Hanya     beberapa   jenis  koperasi   seperti KSP    (single purpose),  Kopdit,  dan  koperasi  peternakan  (single  commodity  multi purpose) yang  mampu  bertahan  dalam  beberapa  tahun  ke  depan. Dari  sudut  kebijakan makro,  berkembangnya      bisnis simpan   pinjam   koperasi  tidak  terlepas  dari ketatnya regulasi dan pembinaan pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan standarisasi sistim pengelolaan.

Rekomendasi

1). Pihak manajemen di koperasi dalam hal ini pengurus dan manajer harus segera meninggalkan    cara-cara  lama   (konvensional)    dalam   pengelolaan   koperasi dengan mengadopsi  dan mengadaptasi  manajemen bisnis modern. Melakukan reformulasi  tujuan  koperasi  sesuai  dengan  tuntutan  kebutuhan  anggota  yang dinamis dan tuntutan persaingan.

2). Pihak  manajemen  di  koperasi    perlu  memperbaiki  kinerja  koperasi    dengan mengembalikan peran  dan funsi koperasi  yaitu kepada yang  seharusnya yaitu koperasi yang berlandaskan dasar-dasar self help (menolong diri sendiri), self relience (percaya  diri),  self  responsibility (bertanggung  jawab  atas  dirinya), sehingga   dengan   demikian    kaidah-kaidah   koperasi   yaitu  efisiensi secara keseluruhan dan khususnya dalam pelayanan anggota dapat diciptakan.

3). Kebutuhan  akan  implementasi  manajemen  modern  di  koperasi  harus  tumbuh dari lingkungan intrnal koperasi, meskipun pada tahap  awal pemerintah  dapat bertindak sebagai agen perubahan untuk memprakarsai proses perubahan sikap dan  prilaku  pihak  manajemen  koperasi  melakukan  bencmarking  manajemen modern dari berbagai sumber.

Nama/NPM  : Nurul Rochmah/25211407

Kelas/tahun :2EB09/2012

Review 4: HASIL KAJIAN


TINJAUAN PROSPEK KOPERASI INDONESIA DARI PERSPEKTIF DISIPLIN
ILMU MANAJEMEN BISNIS

Burhanuddin


Hasil Kajian

Pemahaman Konsepsi Manajemen

Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan   tugas  manajerialnya   di koperasi.  Semakin   baik  pemahaman     konseptual manajemen    responden   berarti dapat  diduga  kuat  adanya   korelasi positif  dengan perf ormance (kinerja), suasana kerja di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan   pada   koperasi  yang   diklasifikasi maju   (memiliki  kinerja  bisnis, finansial dan organisasi yang baik). Studi  khusus  mengenai     pemahaman  konseptual  manajemen  pengurus  dan manajer  koperasi  sejauh  ini  masih  belum  ditemukan. Namun, masih  cukup  relevan pernyataan  filsuf  Jerman,  Emmanuel  Kant  (dalam  Ropke,  1985)  bahwa  tidak  ada praktek yang berhasil baik tanpa memahami konsepsi teori yang baik pula. Penelitian  Sugiyanto   (2006)  tentang  Pengaruh  Kompetensi  dan  Komitmen Pengurus dan Manajer Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi pada Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat,  menyimpulkan  bahwa  secara  simultan  kompetensi  dan  komitmen  pengurus dan  manajer  memberikan  pengaruh  positif  baik  langsung  maupun  tidak  langsung terhadap  kinerja  keuangan,   promosi    ekonomi   anggota,   dan  struktur  keuangan koperasi.
Fungsi dan Proses Manajemen 

1.     Keragaan  Fungsi dan Proses Perencanaan

          Dimensi Penetapan Tujuan Dari sembilan koperasi sampel yang diobservasi, hanya satu koperas (KPSBU     Lembang)    atau  11,1  persen yang   memiliki  visi  jangka  panjang secara  tertulis, sementara  delapan  koperasi   lainnya belum   memiliki.  Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya adalah ”Menjadi koperasi susu  terdepan   di Indonesia  dalam   mensejahterakan    anggota”.  Pada  tahun 1980 jumlah anggota 319 orang dengan produksi susu rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah anggota meningkat menjadi 6.092 orang anggota dengan produksi susu per hari  103.384 kg. Data ini mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran susu. Dalam   perumusan    tujuan  (target)  jangka  pendek,  pada   umumnya koperasi sampel merumuskannya dalam kalimat kualitatif dengan target yang tidak  terukur. Berikut  ini  adalah  contoh  tujuan  koperasi  yang  dikumpulkan dari  Rencana  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Koperasi  (RAPBK)  yang disampaikan dalam rapat anggota tahunan (RAT). Contoh    tujuan  tersebut  masih   sangat  bersifat  normatif   dan  tidak terukur.  Tujuan  ini tidak  memberikan     arahan  sebagai   pedoman    tindakan, alokasi  sumberdaya     baik  sarana   fisik, manusia   maupun    dana.   

          Beberapa literatur  yang  ditulis  oleh  Dulfer  (1984),  Hanel  (1984),  dan  Gupta  (1985) menyatakan bahwa perumusan tujuan koperasi seringkali tidak mudah seperti perusahaan    kapitalistik dengan   shareholders,   karena   melibatkanberbagai pihak   yang   memiliki    berbagai   kepentingan.    Ketidakseimbangan      dalam mengakomodasi secara proporsional seringkali menj adi sumber konflik yang membuat organisasi koperasi dalam perjalanannya tidak stabil. Dulfer   (1984)  dan   Gupta    (1985)   menyatakan  bahwa    model    koperasi tradisional  dan koperasi  terpadu   yang  dalam  proses  perumusan tujuannya selalu berorientasi pada anggota akan lebih mampu bertahan dan berkembang dibandingkan     dengan     koperasi    tipe   pedagang     yang    dalam    proses perencanaannya     cenderung    didominansi     oleh  kelompok  vested   interest (Petani kaya, Pengurus dan atau pihak pemodal kuat).Dimensi Tindakan Pada  koperasi  sampel,  ditemukan  pada  umumnya  tujuan  ditetapkan  secara kualitatif. Konsekwensinya, tindakan dan proses untuk mencapai tujuan juga menjadi    tidak  jelas. Penggunaan     asumsi    untuk   peramalan    target  yang digunakan masih  sangat  sederhana dengan mengambil patokan  angka-angka capaian  tahun  sebelumnya.  Sedangkan  di  perusahaan  modern  non  koperasi sudah   digunakan     model    peramalan    matematika    dan    statistika dengan memasukkan  berbagai  variabel  penentu  keberhasilan  seperti  waktu, musim,dan  risiko  yang dihitung berdasarkan  teori  kemungkinan  (probabilitas). Hal ini  dapat  dilakukan   karena   adanya   dukungan    teknologi   dan  SDM yang handal.

Dimensi Sumberdaya

        Sebagian      besar     koperasi     dalam      perencanaannya       belum mengalokasikan     sumberdayanya     secara  baik.  Perencanaan    program masih disusun   secara  garis  besar  yang  biasanya   dibagi  menurut    bidang   seperti bidang  organisasi  dan  manajemen,  bidang  usaha,  bidang  permodalan,  dan bidang kesejahteraan anggota dan pengelola. Alokasi  sumberdaya umumnya hanya  tergambarkan  dalam  RAPBK,  tidak menjelaskan jadwal,  SDM  yang terlibat, sumber dan penggunaan dana secara rinci.

Dimensi Implementasi

        Dari  sembilan  koperasi  yang  diobservasi,  hanya  KPSBU  Lembang saja yang memiliki dokumen rencana kerja yang dilengkapi dengan Standard Operating  Procedur  (SOP)  dan  petunjuk       teknis  (Juknis)  tertulis.  Menurut keterangan  pengurus  dan  manajer,  KUD  ketika  menangani  usaha  program dari pemerintah seperti penyaluran KUT, Pengadaan Pangan, dan penyaluran Pupuk,  pernah   memiliki  Juklak    dan  Juknis,  meski   disusunkan   oleh  pihak pemerintah.

Dimensi Jenis dan Proses Perencanaan

        Fakta  empiris  ditemukan  pada  2  KPSBU,  yang      sudah  menerapkan proses perumusan rencana strategis jangka panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi   ini memperkuat      pendapat   Ropke    (1985)  bahwa   pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam bidang usaha akan sangat dipengaruhi oleh kualitas  partisipasi  anggota. Adapun  kualitas partisipasi  anggota  ditentukan oleh interaksi tiga variabel, yaitu kemampuan anggota dalam menyampaikan aspirasi   dan   keinginannya,    kemampuan       manajemen     koperasi    untuk menangkap keinginan anggota dan kemampuan koperasi dalam merumuskan program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan/keinginan anggota. Sebagian   besar  koperasi  sampel   belum   memiliki   rencana  strategis jangka panjang yang berisikan visi, sebagai  arahan misi, tujuan  dan  strategi koperasi  serta memudahkan     pengembangan      rencana  program   pada   setiap bidang fungsional atau unit usaha koperasi. Dari  sembilan   koperasi  sampel   yang  diamati,  hanya   satu koperasi yang   telah memiliki   rencana   strategis. Delapan   koperasi  lainnya    hanya memiliki    rencana   program     tahunan  (jangka   pendek).    Menurut    teori manajemen     modern,    koperasi   yang   masih   berorientasi  jangka   pendek mungkin cocok pada situasi lingkunganbisnis yang stabil, tetapi akan segera tergusur pada situasi lingkungan bisnis yang berubah cepat. Adanya    pemahaman     konseptual   manajemen     yang  baik   dari para pengurus dan manajer, belum menjadi dimensi kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi dan proses perencanaan yang efektif. Padahal penelitian Sugianto (2006) mengenai Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi  Simpan Pinj am dan Koperasi  Kredit  di Jawa Barat menyimpulkan sebagai berikut:

1.Kompetensi  manajerial  manajemen  koperasi       (Pengurus,  Pengawas  dan
    Manajer    Koperasi)   berpengaruh     positif terhadap   kinerja   keuangan
    koperasi dan promosi anggota.

2. Komitmen     manajemen     koperasi   (Pengurus,   Pengawas    dan   Manajer
    Koperasi) secara simultan berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan
    Koperasi dan Promosi Ekonomi Anggota. Dimensi komitmen diwujudkan
    dalam   indikator  keinginan   menjaga   nama   baik  lembaga,   kesepakatan
    mencapai    tujuan   dan   nilai  organisasi,  mengutamakan      kepentingan
    lembaga, serta sikap dan perilaku menjalankan strategi lembaga.

        Temuan     penelitian    Sugianto    setidaknya    mengungkap      bahwa
pemahaman  konseptual  manajerial  baik  pengurus maupun  manajer  koperasi tidak secara otomatis diikuti oleh komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kinerj a manajerialnya    di koperasi.   Dengan    kata  lain pihak   manajemen koperasi   memiliki   pemahaman     dan  kemampuan     manajerial   tetapi belum tergerak   mengimplementasikannya       untuk   mencapai    kemajuan    koperasi. Diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti insentif, motivasi berprestasi atau   adanya    konflik   kepentingan    antara  pemilik    (principal)  dengan manajemen (agent).

                Penelitian Untung Wahyudi (2007) yang mengacu pada agency theory
        (anggota   koperasi   adalah  principal   dan   pengurus   adalah   agent), tugas pengurus adalah memaksimalkan  atau meningkatkan kekayaan  anggota. Hal ini diduga  sulit diwujudkan di koperasi karena berdasarkan pengamatannya,kebanyakan pengurus koperasi bukan berasal dari kalangan profesional dalam bisnis  koperasi.  Konsekwensinya,     konflik  kepentingan    seringkali  muncul kepermukaan. Dalam  beberapa  kasus  baik  pengurus  maupun  manajer  yang diangkat  oleh  koperasi  memiliki  usaha/bisnis  yang  bersaing  dengan  bisnis koperasi.   Beberapa    literatur koperasi   menyebut    kelompok     ini  sebagai kelompok  vested    interest  yang  memanfaatkan  fasilitas  dan  jaringan  bisnis koperasi untuk kepentingan bisnis pribadi. Hasilnya bisnis kelompok vested interest  makin   berkembang     sedangkan    bisnis  koperasi  jalan  di  tempat. Kondisi ini banyak ditemui pada saat dukungan kebijakan pemerintah melalui usaha program cukup dominan.

2.     Keragaan  Fungsi dan Proses Pengorganisasian

        Dimensi Struktur

                Secara umum koperasi sudah memiliki deskripsi tugas secara tertulis,meskipun dalam versi dan kedalaman yang bervariasi. Dilihat dari formalisasi maksud    dan  tujuan  pekerjaan   yang   ditetapkan,  seluruh   koperasi  sampe menetapkan    pembagian    kerja  kedalam   unit  atau  divisi/departemen   secara formal melalui keputusan rapat anggota, meskipun disain struktur kebanyakan dilakukan   oleh  pengurus.  Formalisasi   tugas  ini  oleh  pengurus   dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas. Kompleksitas struktur ini memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan yang lebih komplek  seperti pada KUD dan koperasi  peternakan. Jenjang  struktur  vertikal  bervariasi  antara  tiga  sampai dengan   lima  jenjang.  Jenjang   struktur tiga  tingkat  yaitu Rapat   Anggota,Pengurus, dan Unit ditemukan pada KUD Setia Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur  lima  tingkat  dimulai  dari  Rapat  Anggota, Pengurus, Manajer, Unit dan  Sub  unit,  ditemukan  di  tiga  koperasi  contoh.  Diferensiasi  horizontal,yaitu kelebaran  struktur pada level yang sama juga bervariasi  sesuai dengan banyaknya    fungsi  usaha   yang   ditangani.  Kedalaman    dan   kelebaran   dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali manajemen.Disain Struktur (Departementasi) Desain   organisasi   koperasi  pada   umumnya      menggunakan     model fungsional  sesuai  komoditas  usaha  yang  ditangani.  Koperasi  dengan  disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan dengan anggota yang dilayani jumlah   unit   usaha   yang   ditangani)   relatif fleksibel   dalam   mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan eksternalnya, mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi yang memiliki struktur organisasi  gemuk,  kurang  fleksibel  dan  diorganisasikan  dengan  pola  lama tanpa memanfaatkan teknologi informasi menghadapi masalah jalan ditempat dan cenderung tidak berkembang.

Temuan penting lainnya dari kajian ini adalah mengenai inkonsistensi dan   ketidaksesuaian   antara   tujuan  meningkatkan     kesejahteraan   anggota koperasi  dengan  disain  tugas.  Disain  tugas  koperasi  pada  umumnya  tidak membedakan  antara fungsi  pelayanan  dan bisnis. Hanya pada  satu  koperasi sampel yang sudah memisahkan antara unit pelayanan yang berorientasi pada kesejahteraan anggota dengan unit bisnis sebagai prof it centre. Disain tugas koperasi   yang    digambarkan     dalam   diagram    struktur  organisasi,   pada umumnya tidak memiliki divisi atau departemen Research and Development (R&D)     dan   Human     Resources    Development     (HRD).    Padahal,    kedua departemen    ini  memiliki   posisi  vital  dalam   pengembangan      kompetensi sumberdaya  manusia  koperasi  dan  proses  inovasi  koperasi.  Di  perusahaan-perusahaan  modern  pesaing  koperasi  biasanya  memiliki  kedua  departemen tersebut agar mampu bertahan dalam kompetisi. Tidak tertutup kemungkinan disain  organisasi  seperti  ini yang   menyebabkan     koperasi   kalah  bersaing dengan    perusahaan    kapitalistik. Meski    perlu  dicatat  bahwa    perbedaan orientasi pada kedua organisasi perusahaan kemungkinan menjadi penyebab lainnya.

Dimensi Pembagian Wewenang

        Pembagian     wewenang,      tugas   dan   tanggung    jawab     perangkat organisasi koperasi secara garis besar diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun    1992,  tentang  Perkoperasian,  yang  selanjutnya  oleh  masing-masing koperasi  dijabarkan  dalam    Anggaran  Dasar  dan  Anggaran  Rumah  Tangga Koperasi.   Rapat   Anggota    memegang     kekuasaan    tertinggi  dan  memiliki kewenangan sentral dalam pengambilan keputusan strategis koperasi. Dalam implementasinya, pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut  di  lapangan  hampir  tidak  ditemukan  masalah,  artinya  masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam    hal pendelegasian    wewenang     dari pengurus   kepada   manajer,  dari manajer  kepada  kepala  unit  ditemukan  fakta  yang  bervariasi  tiga koperasi contoh  sudah  mendistribusikan  wewenang  kepada  level  dibawahnya  secara proporsional.  Sistim  pengambilan  keputusan  manajemen  sudah  sepenuhnya melibatkan    staf. Meskipun    masih   ada  stereotipe  bahwa   pengurus    hanya memberikan     wewenang  kepada     manajer   untuk   menangani   bisnis  koperasi yang   kurang    menguntungkan      (jabatan  kering),   sedangkan    bisnis  yang prof itable (jabatan basah) tetap dipegang oleh pengurus.

        Di   lapangan   juga  ditemukan    ada   kecenderungan,    koperasi   yang
dipegang  oleh  pengurus  berusia  lanjut  dan  memegang  kepengurusan relatif lama   (beberapa   periode)  cenderung   kurang   memberikan    wewenang     yang proporsional kepada level di bawahnya dengan sistim pengambilan keputusan komando, model  organisasi  garis  (ditemukan pada  KUD  Karya Teguh,  dan KUD Trisula).

Dimensi Koordinasi Menggerakkan Organisasi

        Paradigma baru peran dan tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini bergeser   dari cara-cara   lama  yang   cenderung   otoriter, satu  arah  dimana seorang  pemimpin     atau  manajer  perusahaan  berprinsip    doing  things right bergeser  kearah  pemimpin  yang  lebih  demokratis  dengan  prinsip doing  the right thing.

        Standarisasi suatu proses kegiatan yang dij abarkan dalam bentuk SOP, Juknis,  Juklak   hanya   ditemukan   padadua    koperasi  sampel.   Pada   kedua koperasi   tersebut dirasakan   adanya   suasana   kerja  yang  dinamis   dengan aktifitas usaha berjalan dengan baik.

        Tingkat  kehadiran   pihak  manajemen     dan  disiplin waktu   kehadiran mempengaruhi disiplin dan motivasi kerj a karyawan. Pengurus dan manajer yang  disiplin  dalam  waktu   dan  kehadiran  telah  membentuk  budaya  kerja disiplin yang positif di koperasi. Kondisi ini diamati sangat nyata pada dua di Jawa Barat dan Sumut.

        Observasi   langsung   mengenai    seberapa   sering  pihak   manajemen melaksanakan  rapat  kordinasi  dan  pengarahan  dalam  rangka meningkatkan efektivitas kerja karyawan tidak mudah dilakukan. Meskipun dalam dokumen tertulis Laporan  Tahunan  dilaporkan baik  oleh  Pengurus maupun  Pengawas menyebutkan  frekuensi  rapat  dengan  periodisasi  bervariasi.  Koperasi  yang memiliki  unit  usaha  yang  banyak   dengan  kompleksitas  tinggi  melaporkan frekuensi  rapat  kordinasi  dan  pengarahan   yang  tinggi.  Pada  KSP,  karena setiap  minggu  harus  memutuskan  penyaluran  pinjaman juga  melaksanakan rapat dengan frekuensi tinggi.

        Seringnya pihak  manajemen menyelenggarakan rapat koordinasi  dan pengarahan     setidaknya   menggambarkan       proses    kepemimpinan     sudah berlangsung     dengan    baik.   Pengamatan     mengenai     efektifitas  fungsi kepemimpinan     di  koperasi  ditinjau  dari munculnya    komitmen,    kepuasan kerja, dan  produktivitas kerja karyawan, masih  mengalami  kesulitan  karena faktor keterbatasan waktu pengamatan.

        Khusus   mengenai    proses  menggerakkan     (actuating)   di organisasi koperasi saat ini masih sulit ditemukan baik dalam bentuk buku teks, maupun hasil  penelitian.  Sementara  itu,  literatur  manajemen  khususnya  di  negara- negara   maju   banyak   menyajikan    action   research   untuk   menguji   teori kepemimpinan      terutama    dari   aspek    motivasi,   kepuasan    kerja   dan produktivitas karyawan.

Dimensi Kerjasama

        Aspek lain yang diobservasi  dalam variabel pengorganisasian  adalah kerjasama koperasi dengan pihak lain. Semua koperasi  sampel yang diamati belum   memanfaatkan  kerjasama      antar  koperasi  baik dalam  bentuk  aliansi strategis, integrasi  vertikal  maupun    intergrasi  horisontal  (dalam   rangka menurunkan biaya transaksi, mengurangi risiko ketidakpastian, meningkatkan nilai  tambah,  dan  memperluas pasar). Kondisi  ini  masih  tidak  berubah  dan cenderung    semakin    buruk.   Kondisi    seperti  itu  sejalan  dengan    hasil kesimpulan  penelitian  Litbang  Depkop  bekerja  sama  dengan  LPPM-Ikopin pada  tahun   1993.  Padahal   pada  masa   itu dukungan    pemerintah   terhadap KUD/koperasi  masih     sangat  kuat  dengan  fasilitas  kredit  program  dan  hak monopoli pemasaran dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk, kedelai, terigu, gula, susu, dan gabah/beras.

        Praktek interlinkage market, dalam skala terbatas ditemukan pada satu koperasi  contoh   yang  mempraktekkan  pengembangan  usaha   (mirip model holding company) dengan koperasi lainnya. Keterkaitan bisnis dan pasar dari ketiga  badan  hukum  tersebut  sangat  kuat  dan  saling  mendukung  satu  sama lainnya. Pembelian  oleh  anggota dari  Koperasi Pertanian dibiayai  oleh  KSP dengan pola jual tunda dengan jaminan komoditas yang ada di gudang KSP (pola  ini  diadopsi  menjadi  kredit dengan  j aminan  Resi  Gudang)  sehingga anggota   memperoleh    harga  pembelian    yang  baik.  KSP   tidak mengalami kesulitan  modal  kerj a  dan  KSP  Trisula  dapat  menyalurkan  kredit/pinjaman dengan  aman. Kasus ini  sebenarnya menguatkan pendapat bahwa organisasi
yang mampu melakukan aliansi  strategis (interlinkage market) dapat  saling menguntungkan dan mengurangi risiko ketidakpastian.

3.     Keragaan  Proses Pengendalian

                       Observasi tentang proses pengendalian manajemen di koperasi sampel difokuskan kepada bebrapa indikator  seperti penetapan  standar  dan metoda, pengukuran    prestasi, analisis, serta  tindakan  korektif.  Sumber   informasi diperoleh   dari   pengamatan    langsung,   penuturan    responden,   dokumen perencanaan dan laporan tahunan yang disampaikan pada RAT. Hasil  observasi  menemukan  bahwa  proses pengendalian  manajemen di  koperasi  pada  umumnya  masuk  dalam  kategori  kurang sampai  sedang. Kondisi ini  sangat erat  dengan proses perencanaan yang   lemah, perumusan tujuan   dan  alokasi  sumberdaya yang  tidak  jelas dan berdampak pada  penetapan standar untuk pengendalian menjadi bias. Sebagian besar koperasi juga  belum  menyusun  anggaran  kas yang  berfungsi  untuk  pengelolaan  dan pengendalian  anggaran  koperasi.  Pengendalian  yang  umum  dilakukan  oleh sampel  masih   terbatas pada   pengukuran   efektivitas penggunaan anggaran (membandingkan rencana anggaran dengan realisasi).

                       Analisis   laporan   keuangan    dengan    menggunakan     model rasio leverage,  rasio  aktivitas dan   rasio profitabilitas. Sementara   perusahaan-perusahaan  modern  kapitalistik  telah  beralih  kepada  konsep   Total Quality Management  (TQM)  atau  Total  Quality  Controll  (TQC) hingga  standarisasi proses  dengan   sistim  ISO.  Inovasi  metoda   dan proses  pengendalian  baik dengan  TQM,TQC  atau  ISO  ini  pada  hakekatnya  termasuk  kedalam  model pengendalian    dinamis   dan  menyeluruh    yang   melibatkan   seluruh  jajaran manajemen     untuk  menjamin    konsistensi  kualitas  barang   dan  jasa  yang dihasilkan.

Sistem Penggajian

               Hasil observasi mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi sampel memberi    gambaran   bahwa    sistem  renumerasi   di  koperasi   keragaannya   sangat bervariasi.  Semakin  baik  proses  penerapan  manajemen  di  koperasi  maka  semakin baik  pula penerapan  sistim  renumerasinya. Hal  ini  diindikasikan  dari  adanya  dasar pemberian kompensasi dan penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada tiga koperasi  sampel. Koperasi      lainnya belum memiliki  sistim renumerasi   yang jelas. Secara  umum dapat dikatakan bahwa       rata-rata kompensasi yang  diterima  oleh  karyawan  koperasi  untuk  jenis  pekerjaan,  tingkat  pendidikan, beban  kerja  dan  pengalaman   yang   sama  dibandingkan    dengan  kompensasi    yang  diberikan oleh perusahaan swasta relatif masih lebih rendah.


        Oman  Hadipermana  (2007)  dari  hasil  penelitiannya  di  Jawa  Barat  dan  Lampung mengemukakan      bahwa   terjadinya  ketidakpuasan    karyawan   koperasi   ditemukan karena  kompensasi   yang   diterima  belum  sesuai  dengan   beban  kerjanya.  Adanya perasaan  tidak  puas  dan  tidak  adil  dari  para  karyawan  akan  menyebabkan  hal-hal yang kurang baik bagi pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin  (1993)  disebabkan karena    adanya  gap  antara harapan karyawan  dengan kenyataan yang diperolehnya dari organisasi tempat kerjanya.

        Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja          dari hasil penelitiannya di Maluku Utara, menyimpulkan :
1.  Terdapat  hubungan    yang   positif antara  kompensasi    dengan motivasi   kerja karyawan.    Artinya   meningkatnya    aspek   kompensasi    akan   disertai dengan peningkatan aspek motivasi kerja karyawan.Meskipun terdapat indikasi bahwa kompensasi    kerja  bagi karyawan    dipersepsikan  pada  kategori  rendah   sampai cukup saja.
2.  Motivasi  kerja  karyawan  berpengaruh  positif  terhadap  prestasi  kerja  karyawan. Secara  parsial motivasi   kerja berpengaruh   lebih  besar  dibandingkan   dengan pengaruh   kompensasi    kerja  secara  langsung  terhadap   prestasi kerja.  Artinya walaupun   kompensasi    yang   diterima  karyawan    KUD    masih   rendah,  tetapi karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3.  Kompensasi     kerj a dan   motivasi    kerj a secara   bersama-sama     (simultan) berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid pada tahun 2003 dari studi kasus yang dilakukan di Sumedang (Jawa Barat), menyimpulkan kesimpula penting yang diperoleh:
1.  Secara kualitatif prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini ditunjukkan  oleh jumlah  skor  sebesar  58,33  persen  yang  masuk  dalam  kriteria prestasi kerj a cukup, walaupun masih terdapat indikasi yang masuk dalam kriteria kurang.
2. Secara kualitatif prestasi kerja karyawan unit  simpan pinjam juga masuk  dalam kriteria cukup saja. Kesimpulan hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas kerja karyawan koperasi masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan menurunkan tingkat produktivitas koperasi.Sementara    itu, belum  ditemukan   penelitian  lain yang   difokuskan   kepada hubungan   antara  kompensasi,  motivasi   dengan   produktivitas  kerja pengurus   dan menejer   koperasi.  Kompensasi     bagi  pengurus    koperasi   selain  dalam   bentuk honorarium  atau insentif bulanan juga dari bagian  SHU  dengan prosentasi tertentu.
       
Manajer  selain  memperoleh  gaji  bulanan juga  ditambah  dengan bonus atau  bagian dari  SHU. Dari  pengamatan  lapangan  ada indikasi  sistim  balas jasa bagi  pengurus dan manajer kurang transparan sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kompensasi yang diterima karyawan. Sistem Karier Pada umumnya  sistim karier bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum mapan   dibandingkan    dengan   perusahaan    non  koperasi.  Beberapa    alasan  yang diutarakan oleh para pengurus dan manajer tentang masih buruknya sistim karier di koperasi adalah karena keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya
                                                                                             

        Skala bisnis dan kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan terakhir  konsisten    dengan   apa   yang   telah   dibahas   pada   variabel kompensasi/renumerasi. Dari   aspek   karier,  nampaknya koperasi   masih   bukan lembaga yang menjadi  pilihan  yang menjanjikan untuk  para pencari  kerja  di  pasar tenaga kerja. Karyawan yang saat ini bekerja boleh j adi karena faktor keterpaksaan karena  tidak  terserap  oleh  perusahaan  non  koperasi.  Dengan  kata  lain  karyawan koperasi  masuk  dalam  kualitas  ketiga.  SDM  dengan  kualitas  kesatu  diserap  oleh
       
BUMS  dan     BUMN      yang   sudah  mapan.  Sementara     SDM    dengan    kualitas  kedua diserap oleh sektor pegawai negeri. Survey yang dilakukan IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas  Bina  Nusantara,  Jakarta  terhadap  minat  para  mahasiswa  tingkat  akhir untuk menjadi Wirausaha mandiri, menyimpulkan kurang dari  10 persen responden yang  berminat    menjadi   wirausaha,  meski    tidak dapat   diserap  dalam   pasar  kerja. Selebihnya    90  persen  responden    menyatakan    tidak  berminat   dan  memilih    untuk menjadi    pegawai.   Pilihan   menjadi   pegawai    BUMN      dan   BUMS     yang    mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti menjadi pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal kurikulum    IKOPIN    memuat     misi  mencetak    sarjana  ekonomi    untuk  membangun perekonomian     dengan   koperasi   sebagai  bentuk   kelembagaan     ideal bagi  ekonomi kerakyatan.Temuan     lain  mengindikasikan     bahwa    kewenangan     sentralistik  pengurus  dalam    proses   rekruitmen    dan   penempatan     pegawai    berdampak     kepada   tidak transparannya sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses dan  peluang  kerja  termasuk  pengembangan  karier  terindikasi  kuat  ditentukan  oleh adanya    hubungan    kekerabatan    dengan    pengurus.   Alasan   kemampuan       finansial koperasi nampaknya bukan unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula,sangat jarang ditemukan  adanya koperasi  yang  secara pro  aktif  memasang iklan  di mass media untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.

Efisiensi Usaha Koperasi

                Gambaran  mengenai  tingkat  rentabilitas  ekonomi  (RE)  di  koperasi  sampel menunjukkan     besaran   yang  bervariasi   yaitu  antara  negatif 0,006   persen   (artinya koperasi  masih  menderita  kerugian)     sampai   8,8  persen.  Oleh  karena   standar  RE untuk  koperasi  di  Indonesia  belum  ada  maka  digunakan       standar  industri  sebagai pembanding.     Biasanya   standar   industri  dikelompokkan     kedalam    jenis  usahanya misalnya standar RE untuk usaha perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari deposito  sebagai  opportunity  cost  of  money. Apabila tingkat  bunga      deposito  yang berlaku delapan persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi  tidak  efisien  (terj adi  pemborosan  pemakaian  sumberdaya  ekonomi). Data lapang  menunjukkan  bahwa  sebagian  besar  koperasi  sampel  memiliki  tingkat  RE yang rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.

                Penelitian   Opik   Ropikoh    (2003)   mengenai    Evaluasi   Faktor-faktor   Yang Menyebabkan      Turunnya    Perputaran   Modal    Kerja  dan   Rentabilitas  Ekonomis di Majalengka,  menemukan  kondisi  yang  lebih  parah  yaitu  dari  tahun 1998  sampai tahun  2003,  rata-rata  RE  koperasi  tersebut  kurang  dari  satu  persen  (antara  0,14  -0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa krisis. Sebelum    krisis, Lilis Suryati   (1997)   meneliti   Partisipasi  Anggota    Dalam Kontribusi    Modal   dan   Pemanfaatan      Pelayanan    Koperasi  Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun  1992 sampai    tahun   1996  berkisar   antara  0,09   persen   hingga   3,21  persen. Hal    serupa ditemukan dalam penelitian Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang Pengaruh     Kualitas    Kewirausaahaan       Pribadi    Manajer     Terhadap     Profitabilitas Koperasi. Dari  hasil  penelitiannya  dikemukakan probabilitas koperasi  sampel  yang KSP rata-rata di bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata  koperasi   sampel   memiliki    tingkat  rentabilitas  ekonomi     yang   lebih  baik dibandingkan dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.Kondisi empirik   mengenai    efisiensi   biaya  transaksi   KSP    rata-rata  lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh
Sugiyanto  (2006)  yang  meneliti  manfaat  promosi  ekonomi  anggota pada KSP  dan koperasi   kredit   (Kopdit)   dalam    bentuk    efisiensi  biaya   pinjaman    seperti   biaya administrasi,   provisi   dan  asuransi.     Efisiensi  dihitung   dari  selisih  antara   biaya pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing koperasi.

              Data  juga    menunjukkan      gambaran    yang  positif   terhadap   bisnis  keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki competitive    advantage     yang    ditunjukkan     dengan    rata-rata  memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91 persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan dan  pengawasan  terhadap       KSP  dan  USP  koperasi  oleh  pemerintah  lebih  intensif dibandingkan  dengan  kegiatan  bisnis  koperasi  di  luar  sektor  keuangan. Meskipun begitu,  masih  banyak  ditemukan  KSP/USP  koperasi  yang  berusaha  mencari  celah kelemahan dari peraturan yang ada. Masalah     efisiensi  koperasi   di  negara-negara  bekembang  (termasuk  di  Indonesia) telah menjadi    bahan diskusi panjang      terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel (1985  )  mengkritisi  kegagalan  koperasi  di  negara-negara berkembang  disebabkan oleh :

1. Dampak  koperasi  terhadap  pembangunan  yang  kurang  atau  sangat  kurang  dari organisasi    koperasi,   khususnya     karena   koperasi    tidak   banyak    memberikan sumbangan       dalam    mengatasi     kemiskinan     dan    dalam    mengubah      struktur kekuasaan  sosial  politik  setempat  bagi  kepentingan  golongan  masyarakat  yang miskin.
2. Jasa-jasa  pelayanan  yang  diberikan  oleh  organisasi  koperasi        seringkali  dinilai tidak   efisien   dan   tidak   mengarah     kepada    kebutuhan     anggotanya,     bahkan sebaliknya  hanya  memberikan  manfaat  bagi  para  petani  besar  yang  telah  maju dan kelompok-kelompok tertentu.
3.  Tingkat    efisiensi  perusahaan-perusahaan       koperasi    rendah    (manajemen     tidak mampu, terj adi penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4.  Tingkat    ofisialisasi  yang   yang    sering  kali  terlampau     tinggi  pada   koperasi  (khususnya      koperasi    pertanian),    ditandai    dengan    dukungan/bantuan dan pengawasan yang terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan memperlihatkan sama    seperti  pada   lembaga-lembaga       birokrasi   pemerintah, ketimbang   sebagai   suatu  organisasi  swadaya   yang   otonom,   partisipatif dan berorientasi pada anggota. 5.Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan internasional dan khususnya  kelemahan-kelemahan  pada       strategi  pembangunan  yang  diterapkan pemerintah untuk menunjang organisasi koperas Untuk mengatasi masalah tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi tentang  upaya  meningkatkan  efektivitas  dan  efisiensi  perusahaan  koperasi  sebagai
berikut:

1.  Organisasi koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi harus  memberikan    manfaat   dan  menghasilkan  potensi   peningkatan   pelayanan yang cukup  bagi anggotanya.
2.  Organisasi  koperasi  harus  efisien  dan  efektif  bagi anggotanya,  artinya  setiap anggota  akan   menilai  manfaat   partisipasi dalam  usaha  bersama    lebih efektif untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3.  Dalam  jangka  panjang,  anggota  koperasi  harus  dapat    menerima    saldo  positif antara  pemanfaatan   (insentif)  dari  koperasi dan sumbangan    (kontribusi)  yang diberikan kepada koperasi.
 4. Koperasi harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang dihasilkan  oleh  usaha bersama/koperasi  menjadi  milik  umum. Artinya koperasi harus mampu  mencegah timbulnya dampak  dari penumpang gelap  (f ree  riders) yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.

            Yuyun  Wirasasmita  (1991) berpendapat  bahwa kondisi  koperasi  setelah  era 80-an  dan  90-an, masih  belum  banyak  mengalami  perubahan karena  masih  dalam kondisi :

 1.  Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
 2.  Struktur  organisasi  dan  proses  pengambilan    keputusan   sukar  dimengerti  dan dikontrol dan dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3.  Tujuan  koperasi  dari  sudut  pandang  anggota  sering  dianggap  terlalu  luas  atau terlalu sempit.
 4.  Karyawan    koperasi  dan   para  manajer   dalam  menjalankan    organisasi  sangat tanggap terhadap arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5.  Fasilitas koperasi  terbuka juga bagi  non  anggota  sehingga tidak  ada perbedaan manfaat yang diperoleh anggota dan non anggota. Positioning Koperasi Menghadapi     globalisasi   dengan    segala   indikatornya,   koperasi    perlu melakukan    repositioning  baik   dalam  hal  perilaku  dan   kompetensi   sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius  Roni  Setiawan,   2002  dalam   Sugiyanto,   2008:13).  Repositioning   peran sumberdaya  manusia  dilakukan  dengan  mengubah  pemahaman  organisasi tentang peran  sumberdaya    manusia   yang   semula   dengan   konsep  people   issues  menjadi people  related  business  issues  yang  didefinisikan  sebagai  persoalan  bisnis  yang selalu dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.

                Peran  sumberdaya  manusia  akan  semakin  dihargai  terutama  terkait  dengan kompetensinya  dalam  pengelolaan  bisnis.  Schuller  dan  Jackson,    1997;  Ulrich  D.1997   (dalam  Sugiyanto,   2008),  menawarkan     empat   hal  pokok   yang  berkenaan dengan peran sumberdaya manusia, yaitu menj adi mitra strategis (strategic partner), menjadi ahli administrasi    (administrative    expert),   menjadi     pelopor/pejuang (employee champion), dan menjadi agen perubahan (agent of  change).

                     Hasil  analisis  Sugiyanto   (2006:9)  menyebutkan  bahwa  kinerja  perusahaan koperasi di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerj a pengembalian asset  yang  diinvestasikan  kedalam  perusahaan  koperasi  dengan  ukuran  Return  on Asset (ROA) rata-rata hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang  handal  untuk    mengelola  bisnis  koperasi  juga  masih  kurang.  Tidak semua koperasi   memiliki    manajer,   hanya   satu  dari  empat   koperasi   yang   telah  mampu memiliki manajer. Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar Rp 435,614,-.

                     Rendahnya  rata-rata  kinerja  koperasi,  terutama  dilihat    dari  efisiensi  usaha (RE) secara empiris berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari  fungsi   perencanaan,    pengorganisasian,    Pelaksanaan,    dan  pengendalian    yang lemah  termasuk  sistim  renumerasi, dan  sistim  karier. Dari  sembilan  koperasi  yang diobservasi  hanya  dua koperasi  (22,22 persen)  saj a yang telah  menerapkan  prinsip dan proses manajemen  dengan relatif baik. Dalam pembahasan  sebelumnya diduga hal ini karena koperasi tidak memiliki cukup  sumberdaya yang kompeten di bidang manajerial, atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak memiliki  komitmen  yang  tinggi  untuk  menerapkan  ilmu  manajemen  di  koperasi. Kedua    faktor   penyebab    secara   simultan   memiliki    pengaruh    dominan    terhadap positioning koperasi yang buruk.

                     Positioning   koperasi   di  era  globalisasi   perdagangan    bebas   hanya    dapat dipertahankan bila koperasi mampu  dikelola dengan baik  dan memberikan manfaat ekonomi    bagi   anggotanya    melalui  penciptaan    keunggulan    kompetitif   yang   dapat disediakan koperasi bagi anggota.       Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan tingginya loyalitas dan partisipasi anggota terhadap koperasinya.

                     Ropke  (1989),  Andang  K.  (1993)  dalam  Sugiyanto  (2006:12)  mengajukan model matrik positioning koperasi dari hubungan  antara partisipasi anggota dengan profesionalisme manajemen  dalam     menentukan     keberhasilan     koperasi   untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

                                       Tabel 3. Model Matrik Positioning

Profesionalisme manajemen       
Profesionalisme tinggi           
Profesionalisme rendah
Partisipasi anggota
Partisipasi anggota Tinggi
Koperasi berkembang baik       
Koperasi berkembang lambat
Partisipasi Anggota Rendah           
Koperasi mati pelan-pelan       
Koperasi mati
dengan segera

Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)

                     Apabila  matriks  ini   digunakan  untuk  memotret  kondisi      sembilan  koperasi sampel yang diobservasi, maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi  berkembang  baik:  3  koperasi  atau      33,33  persen   (KPSBU  Lembang, KSP Trisula Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD Harapan Tani).
3. Koperasi  mati  pelan-pelan    :  3  koperasi  atau  33,33  persen  (GKSI  Jawa  Barat, Puskud Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).
4. Koperasi  mati  dengan  segera  :  1 koperasi  atau    11,1 persen  (KUD  Setia  Tani, Sumatera Utara).

                    Dari uraian ini terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh koperasi dalam rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik, dibangun dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan tahapan:
(1)   identifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2)   identifikasi peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3)   identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4)   segmentasi pasar;
(5)   repositioning; dan,
(6)   merancang strategi pemasaran yang tepat (p roduct, place, promotion dan   price) atau strategi bisnis.

Sejauh  ini belum terdapat  fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang telah   melakukan    positioning    ataupun    repositioning    dalam   hal   pengelelolaan sumberdaya,     kelembagaan    maupun     usahanya.   Dengan    demikian    belum   terdapat contoh   best  practice  yang   dapat   dijadikan  rujukan   dan   replikasi bagi   koperasi lainnya.  Koperasi    di Indonesia,   nampaknya     masih   bergulat  dengan   kondisi   dan masalah internalnya.

Nama/NPM  : Nurul Rochmah/25211407

Kelas/tahun :2EB09/2012