Minggu, 23 Desember 2012

Review 4: HASIL KAJIAN


TINJAUAN PROSPEK KOPERASI INDONESIA DARI PERSPEKTIF DISIPLIN
ILMU MANAJEMEN BISNIS

Burhanuddin


Hasil Kajian

Pemahaman Konsepsi Manajemen

Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan   tugas  manajerialnya   di koperasi.  Semakin   baik  pemahaman     konseptual manajemen    responden   berarti dapat  diduga  kuat  adanya   korelasi positif  dengan perf ormance (kinerja), suasana kerja di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan   pada   koperasi  yang   diklasifikasi maju   (memiliki  kinerja  bisnis, finansial dan organisasi yang baik). Studi  khusus  mengenai     pemahaman  konseptual  manajemen  pengurus  dan manajer  koperasi  sejauh  ini  masih  belum  ditemukan. Namun, masih  cukup  relevan pernyataan  filsuf  Jerman,  Emmanuel  Kant  (dalam  Ropke,  1985)  bahwa  tidak  ada praktek yang berhasil baik tanpa memahami konsepsi teori yang baik pula. Penelitian  Sugiyanto   (2006)  tentang  Pengaruh  Kompetensi  dan  Komitmen Pengurus dan Manajer Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi pada Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat,  menyimpulkan  bahwa  secara  simultan  kompetensi  dan  komitmen  pengurus dan  manajer  memberikan  pengaruh  positif  baik  langsung  maupun  tidak  langsung terhadap  kinerja  keuangan,   promosi    ekonomi   anggota,   dan  struktur  keuangan koperasi.
Fungsi dan Proses Manajemen 

1.     Keragaan  Fungsi dan Proses Perencanaan

          Dimensi Penetapan Tujuan Dari sembilan koperasi sampel yang diobservasi, hanya satu koperas (KPSBU     Lembang)    atau  11,1  persen yang   memiliki  visi  jangka  panjang secara  tertulis, sementara  delapan  koperasi   lainnya belum   memiliki.  Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya adalah ”Menjadi koperasi susu  terdepan   di Indonesia  dalam   mensejahterakan    anggota”.  Pada  tahun 1980 jumlah anggota 319 orang dengan produksi susu rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah anggota meningkat menjadi 6.092 orang anggota dengan produksi susu per hari  103.384 kg. Data ini mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran susu. Dalam   perumusan    tujuan  (target)  jangka  pendek,  pada   umumnya koperasi sampel merumuskannya dalam kalimat kualitatif dengan target yang tidak  terukur. Berikut  ini  adalah  contoh  tujuan  koperasi  yang  dikumpulkan dari  Rencana  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Koperasi  (RAPBK)  yang disampaikan dalam rapat anggota tahunan (RAT). Contoh    tujuan  tersebut  masih   sangat  bersifat  normatif   dan  tidak terukur.  Tujuan  ini tidak  memberikan     arahan  sebagai   pedoman    tindakan, alokasi  sumberdaya     baik  sarana   fisik, manusia   maupun    dana.   

          Beberapa literatur  yang  ditulis  oleh  Dulfer  (1984),  Hanel  (1984),  dan  Gupta  (1985) menyatakan bahwa perumusan tujuan koperasi seringkali tidak mudah seperti perusahaan    kapitalistik dengan   shareholders,   karena   melibatkanberbagai pihak   yang   memiliki    berbagai   kepentingan.    Ketidakseimbangan      dalam mengakomodasi secara proporsional seringkali menj adi sumber konflik yang membuat organisasi koperasi dalam perjalanannya tidak stabil. Dulfer   (1984)  dan   Gupta    (1985)   menyatakan  bahwa    model    koperasi tradisional  dan koperasi  terpadu   yang  dalam  proses  perumusan tujuannya selalu berorientasi pada anggota akan lebih mampu bertahan dan berkembang dibandingkan     dengan     koperasi    tipe   pedagang     yang    dalam    proses perencanaannya     cenderung    didominansi     oleh  kelompok  vested   interest (Petani kaya, Pengurus dan atau pihak pemodal kuat).Dimensi Tindakan Pada  koperasi  sampel,  ditemukan  pada  umumnya  tujuan  ditetapkan  secara kualitatif. Konsekwensinya, tindakan dan proses untuk mencapai tujuan juga menjadi    tidak  jelas. Penggunaan     asumsi    untuk   peramalan    target  yang digunakan masih  sangat  sederhana dengan mengambil patokan  angka-angka capaian  tahun  sebelumnya.  Sedangkan  di  perusahaan  modern  non  koperasi sudah   digunakan     model    peramalan    matematika    dan    statistika dengan memasukkan  berbagai  variabel  penentu  keberhasilan  seperti  waktu, musim,dan  risiko  yang dihitung berdasarkan  teori  kemungkinan  (probabilitas). Hal ini  dapat  dilakukan   karena   adanya   dukungan    teknologi   dan  SDM yang handal.

Dimensi Sumberdaya

        Sebagian      besar     koperasi     dalam      perencanaannya       belum mengalokasikan     sumberdayanya     secara  baik.  Perencanaan    program masih disusun   secara  garis  besar  yang  biasanya   dibagi  menurut    bidang   seperti bidang  organisasi  dan  manajemen,  bidang  usaha,  bidang  permodalan,  dan bidang kesejahteraan anggota dan pengelola. Alokasi  sumberdaya umumnya hanya  tergambarkan  dalam  RAPBK,  tidak menjelaskan jadwal,  SDM  yang terlibat, sumber dan penggunaan dana secara rinci.

Dimensi Implementasi

        Dari  sembilan  koperasi  yang  diobservasi,  hanya  KPSBU  Lembang saja yang memiliki dokumen rencana kerja yang dilengkapi dengan Standard Operating  Procedur  (SOP)  dan  petunjuk       teknis  (Juknis)  tertulis.  Menurut keterangan  pengurus  dan  manajer,  KUD  ketika  menangani  usaha  program dari pemerintah seperti penyaluran KUT, Pengadaan Pangan, dan penyaluran Pupuk,  pernah   memiliki  Juklak    dan  Juknis,  meski   disusunkan   oleh  pihak pemerintah.

Dimensi Jenis dan Proses Perencanaan

        Fakta  empiris  ditemukan  pada  2  KPSBU,  yang      sudah  menerapkan proses perumusan rencana strategis jangka panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi   ini memperkuat      pendapat   Ropke    (1985)  bahwa   pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam bidang usaha akan sangat dipengaruhi oleh kualitas  partisipasi  anggota. Adapun  kualitas partisipasi  anggota  ditentukan oleh interaksi tiga variabel, yaitu kemampuan anggota dalam menyampaikan aspirasi   dan   keinginannya,    kemampuan       manajemen     koperasi    untuk menangkap keinginan anggota dan kemampuan koperasi dalam merumuskan program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan/keinginan anggota. Sebagian   besar  koperasi  sampel   belum   memiliki   rencana  strategis jangka panjang yang berisikan visi, sebagai  arahan misi, tujuan  dan  strategi koperasi  serta memudahkan     pengembangan      rencana  program   pada   setiap bidang fungsional atau unit usaha koperasi. Dari  sembilan   koperasi  sampel   yang  diamati,  hanya   satu koperasi yang   telah memiliki   rencana   strategis. Delapan   koperasi  lainnya    hanya memiliki    rencana   program     tahunan  (jangka   pendek).    Menurut    teori manajemen     modern,    koperasi   yang   masih   berorientasi  jangka   pendek mungkin cocok pada situasi lingkunganbisnis yang stabil, tetapi akan segera tergusur pada situasi lingkungan bisnis yang berubah cepat. Adanya    pemahaman     konseptual   manajemen     yang  baik   dari para pengurus dan manajer, belum menjadi dimensi kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi dan proses perencanaan yang efektif. Padahal penelitian Sugianto (2006) mengenai Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal Koperasi  Simpan Pinj am dan Koperasi  Kredit  di Jawa Barat menyimpulkan sebagai berikut:

1.Kompetensi  manajerial  manajemen  koperasi       (Pengurus,  Pengawas  dan
    Manajer    Koperasi)   berpengaruh     positif terhadap   kinerja   keuangan
    koperasi dan promosi anggota.

2. Komitmen     manajemen     koperasi   (Pengurus,   Pengawas    dan   Manajer
    Koperasi) secara simultan berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan
    Koperasi dan Promosi Ekonomi Anggota. Dimensi komitmen diwujudkan
    dalam   indikator  keinginan   menjaga   nama   baik  lembaga,   kesepakatan
    mencapai    tujuan   dan   nilai  organisasi,  mengutamakan      kepentingan
    lembaga, serta sikap dan perilaku menjalankan strategi lembaga.

        Temuan     penelitian    Sugianto    setidaknya    mengungkap      bahwa
pemahaman  konseptual  manajerial  baik  pengurus maupun  manajer  koperasi tidak secara otomatis diikuti oleh komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kinerj a manajerialnya    di koperasi.   Dengan    kata  lain pihak   manajemen koperasi   memiliki   pemahaman     dan  kemampuan     manajerial   tetapi belum tergerak   mengimplementasikannya       untuk   mencapai    kemajuan    koperasi. Diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti insentif, motivasi berprestasi atau   adanya    konflik   kepentingan    antara  pemilik    (principal)  dengan manajemen (agent).

                Penelitian Untung Wahyudi (2007) yang mengacu pada agency theory
        (anggota   koperasi   adalah  principal   dan   pengurus   adalah   agent), tugas pengurus adalah memaksimalkan  atau meningkatkan kekayaan  anggota. Hal ini diduga  sulit diwujudkan di koperasi karena berdasarkan pengamatannya,kebanyakan pengurus koperasi bukan berasal dari kalangan profesional dalam bisnis  koperasi.  Konsekwensinya,     konflik  kepentingan    seringkali  muncul kepermukaan. Dalam  beberapa  kasus  baik  pengurus  maupun  manajer  yang diangkat  oleh  koperasi  memiliki  usaha/bisnis  yang  bersaing  dengan  bisnis koperasi.   Beberapa    literatur koperasi   menyebut    kelompok     ini  sebagai kelompok  vested    interest  yang  memanfaatkan  fasilitas  dan  jaringan  bisnis koperasi untuk kepentingan bisnis pribadi. Hasilnya bisnis kelompok vested interest  makin   berkembang     sedangkan    bisnis  koperasi  jalan  di  tempat. Kondisi ini banyak ditemui pada saat dukungan kebijakan pemerintah melalui usaha program cukup dominan.

2.     Keragaan  Fungsi dan Proses Pengorganisasian

        Dimensi Struktur

                Secara umum koperasi sudah memiliki deskripsi tugas secara tertulis,meskipun dalam versi dan kedalaman yang bervariasi. Dilihat dari formalisasi maksud    dan  tujuan  pekerjaan   yang   ditetapkan,  seluruh   koperasi  sampe menetapkan    pembagian    kerja  kedalam   unit  atau  divisi/departemen   secara formal melalui keputusan rapat anggota, meskipun disain struktur kebanyakan dilakukan   oleh  pengurus.  Formalisasi   tugas  ini  oleh  pengurus   dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas. Kompleksitas struktur ini memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan yang lebih komplek  seperti pada KUD dan koperasi  peternakan. Jenjang  struktur  vertikal  bervariasi  antara  tiga  sampai dengan   lima  jenjang.  Jenjang   struktur tiga  tingkat  yaitu Rapat   Anggota,Pengurus, dan Unit ditemukan pada KUD Setia Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur  lima  tingkat  dimulai  dari  Rapat  Anggota, Pengurus, Manajer, Unit dan  Sub  unit,  ditemukan  di  tiga  koperasi  contoh.  Diferensiasi  horizontal,yaitu kelebaran  struktur pada level yang sama juga bervariasi  sesuai dengan banyaknya    fungsi  usaha   yang   ditangani.  Kedalaman    dan   kelebaran   dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali manajemen.Disain Struktur (Departementasi) Desain   organisasi   koperasi  pada   umumnya      menggunakan     model fungsional  sesuai  komoditas  usaha  yang  ditangani.  Koperasi  dengan  disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan dengan anggota yang dilayani jumlah   unit   usaha   yang   ditangani)   relatif fleksibel   dalam   mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan eksternalnya, mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi yang memiliki struktur organisasi  gemuk,  kurang  fleksibel  dan  diorganisasikan  dengan  pola  lama tanpa memanfaatkan teknologi informasi menghadapi masalah jalan ditempat dan cenderung tidak berkembang.

Temuan penting lainnya dari kajian ini adalah mengenai inkonsistensi dan   ketidaksesuaian   antara   tujuan  meningkatkan     kesejahteraan   anggota koperasi  dengan  disain  tugas.  Disain  tugas  koperasi  pada  umumnya  tidak membedakan  antara fungsi  pelayanan  dan bisnis. Hanya pada  satu  koperasi sampel yang sudah memisahkan antara unit pelayanan yang berorientasi pada kesejahteraan anggota dengan unit bisnis sebagai prof it centre. Disain tugas koperasi   yang    digambarkan     dalam   diagram    struktur  organisasi,   pada umumnya tidak memiliki divisi atau departemen Research and Development (R&D)     dan   Human     Resources    Development     (HRD).    Padahal,    kedua departemen    ini  memiliki   posisi  vital  dalam   pengembangan      kompetensi sumberdaya  manusia  koperasi  dan  proses  inovasi  koperasi.  Di  perusahaan-perusahaan  modern  pesaing  koperasi  biasanya  memiliki  kedua  departemen tersebut agar mampu bertahan dalam kompetisi. Tidak tertutup kemungkinan disain  organisasi  seperti  ini yang   menyebabkan     koperasi   kalah  bersaing dengan    perusahaan    kapitalistik. Meski    perlu  dicatat  bahwa    perbedaan orientasi pada kedua organisasi perusahaan kemungkinan menjadi penyebab lainnya.

Dimensi Pembagian Wewenang

        Pembagian     wewenang,      tugas   dan   tanggung    jawab     perangkat organisasi koperasi secara garis besar diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun    1992,  tentang  Perkoperasian,  yang  selanjutnya  oleh  masing-masing koperasi  dijabarkan  dalam    Anggaran  Dasar  dan  Anggaran  Rumah  Tangga Koperasi.   Rapat   Anggota    memegang     kekuasaan    tertinggi  dan  memiliki kewenangan sentral dalam pengambilan keputusan strategis koperasi. Dalam implementasinya, pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut  di  lapangan  hampir  tidak  ditemukan  masalah,  artinya  masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam    hal pendelegasian    wewenang     dari pengurus   kepada   manajer,  dari manajer  kepada  kepala  unit  ditemukan  fakta  yang  bervariasi  tiga koperasi contoh  sudah  mendistribusikan  wewenang  kepada  level  dibawahnya  secara proporsional.  Sistim  pengambilan  keputusan  manajemen  sudah  sepenuhnya melibatkan    staf. Meskipun    masih   ada  stereotipe  bahwa   pengurus    hanya memberikan     wewenang  kepada     manajer   untuk   menangani   bisnis  koperasi yang   kurang    menguntungkan      (jabatan  kering),   sedangkan    bisnis  yang prof itable (jabatan basah) tetap dipegang oleh pengurus.

        Di   lapangan   juga  ditemukan    ada   kecenderungan,    koperasi   yang
dipegang  oleh  pengurus  berusia  lanjut  dan  memegang  kepengurusan relatif lama   (beberapa   periode)  cenderung   kurang   memberikan    wewenang     yang proporsional kepada level di bawahnya dengan sistim pengambilan keputusan komando, model  organisasi  garis  (ditemukan pada  KUD  Karya Teguh,  dan KUD Trisula).

Dimensi Koordinasi Menggerakkan Organisasi

        Paradigma baru peran dan tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini bergeser   dari cara-cara   lama  yang   cenderung   otoriter, satu  arah  dimana seorang  pemimpin     atau  manajer  perusahaan  berprinsip    doing  things right bergeser  kearah  pemimpin  yang  lebih  demokratis  dengan  prinsip doing  the right thing.

        Standarisasi suatu proses kegiatan yang dij abarkan dalam bentuk SOP, Juknis,  Juklak   hanya   ditemukan   padadua    koperasi  sampel.   Pada   kedua koperasi   tersebut dirasakan   adanya   suasana   kerja  yang  dinamis   dengan aktifitas usaha berjalan dengan baik.

        Tingkat  kehadiran   pihak  manajemen     dan  disiplin waktu   kehadiran mempengaruhi disiplin dan motivasi kerj a karyawan. Pengurus dan manajer yang  disiplin  dalam  waktu   dan  kehadiran  telah  membentuk  budaya  kerja disiplin yang positif di koperasi. Kondisi ini diamati sangat nyata pada dua di Jawa Barat dan Sumut.

        Observasi   langsung   mengenai    seberapa   sering  pihak   manajemen melaksanakan  rapat  kordinasi  dan  pengarahan  dalam  rangka meningkatkan efektivitas kerja karyawan tidak mudah dilakukan. Meskipun dalam dokumen tertulis Laporan  Tahunan  dilaporkan baik  oleh  Pengurus maupun  Pengawas menyebutkan  frekuensi  rapat  dengan  periodisasi  bervariasi.  Koperasi  yang memiliki  unit  usaha  yang  banyak   dengan  kompleksitas  tinggi  melaporkan frekuensi  rapat  kordinasi  dan  pengarahan   yang  tinggi.  Pada  KSP,  karena setiap  minggu  harus  memutuskan  penyaluran  pinjaman juga  melaksanakan rapat dengan frekuensi tinggi.

        Seringnya pihak  manajemen menyelenggarakan rapat koordinasi  dan pengarahan     setidaknya   menggambarkan       proses    kepemimpinan     sudah berlangsung     dengan    baik.   Pengamatan     mengenai     efektifitas  fungsi kepemimpinan     di  koperasi  ditinjau  dari munculnya    komitmen,    kepuasan kerja, dan  produktivitas kerja karyawan, masih  mengalami  kesulitan  karena faktor keterbatasan waktu pengamatan.

        Khusus   mengenai    proses  menggerakkan     (actuating)   di organisasi koperasi saat ini masih sulit ditemukan baik dalam bentuk buku teks, maupun hasil  penelitian.  Sementara  itu,  literatur  manajemen  khususnya  di  negara- negara   maju   banyak   menyajikan    action   research   untuk   menguji   teori kepemimpinan      terutama    dari   aspek    motivasi,   kepuasan    kerja   dan produktivitas karyawan.

Dimensi Kerjasama

        Aspek lain yang diobservasi  dalam variabel pengorganisasian  adalah kerjasama koperasi dengan pihak lain. Semua koperasi  sampel yang diamati belum   memanfaatkan  kerjasama      antar  koperasi  baik dalam  bentuk  aliansi strategis, integrasi  vertikal  maupun    intergrasi  horisontal  (dalam   rangka menurunkan biaya transaksi, mengurangi risiko ketidakpastian, meningkatkan nilai  tambah,  dan  memperluas pasar). Kondisi  ini  masih  tidak  berubah  dan cenderung    semakin    buruk.   Kondisi    seperti  itu  sejalan  dengan    hasil kesimpulan  penelitian  Litbang  Depkop  bekerja  sama  dengan  LPPM-Ikopin pada  tahun   1993.  Padahal   pada  masa   itu dukungan    pemerintah   terhadap KUD/koperasi  masih     sangat  kuat  dengan  fasilitas  kredit  program  dan  hak monopoli pemasaran dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk, kedelai, terigu, gula, susu, dan gabah/beras.

        Praktek interlinkage market, dalam skala terbatas ditemukan pada satu koperasi  contoh   yang  mempraktekkan  pengembangan  usaha   (mirip model holding company) dengan koperasi lainnya. Keterkaitan bisnis dan pasar dari ketiga  badan  hukum  tersebut  sangat  kuat  dan  saling  mendukung  satu  sama lainnya. Pembelian  oleh  anggota dari  Koperasi Pertanian dibiayai  oleh  KSP dengan pola jual tunda dengan jaminan komoditas yang ada di gudang KSP (pola  ini  diadopsi  menjadi  kredit dengan  j aminan  Resi  Gudang)  sehingga anggota   memperoleh    harga  pembelian    yang  baik.  KSP   tidak mengalami kesulitan  modal  kerj a  dan  KSP  Trisula  dapat  menyalurkan  kredit/pinjaman dengan  aman. Kasus ini  sebenarnya menguatkan pendapat bahwa organisasi
yang mampu melakukan aliansi  strategis (interlinkage market) dapat  saling menguntungkan dan mengurangi risiko ketidakpastian.

3.     Keragaan  Proses Pengendalian

                       Observasi tentang proses pengendalian manajemen di koperasi sampel difokuskan kepada bebrapa indikator  seperti penetapan  standar  dan metoda, pengukuran    prestasi, analisis, serta  tindakan  korektif.  Sumber   informasi diperoleh   dari   pengamatan    langsung,   penuturan    responden,   dokumen perencanaan dan laporan tahunan yang disampaikan pada RAT. Hasil  observasi  menemukan  bahwa  proses pengendalian  manajemen di  koperasi  pada  umumnya  masuk  dalam  kategori  kurang sampai  sedang. Kondisi ini  sangat erat  dengan proses perencanaan yang   lemah, perumusan tujuan   dan  alokasi  sumberdaya yang  tidak  jelas dan berdampak pada  penetapan standar untuk pengendalian menjadi bias. Sebagian besar koperasi juga  belum  menyusun  anggaran  kas yang  berfungsi  untuk  pengelolaan  dan pengendalian  anggaran  koperasi.  Pengendalian  yang  umum  dilakukan  oleh sampel  masih   terbatas pada   pengukuran   efektivitas penggunaan anggaran (membandingkan rencana anggaran dengan realisasi).

                       Analisis   laporan   keuangan    dengan    menggunakan     model rasio leverage,  rasio  aktivitas dan   rasio profitabilitas. Sementara   perusahaan-perusahaan  modern  kapitalistik  telah  beralih  kepada  konsep   Total Quality Management  (TQM)  atau  Total  Quality  Controll  (TQC) hingga  standarisasi proses  dengan   sistim  ISO.  Inovasi  metoda   dan proses  pengendalian  baik dengan  TQM,TQC  atau  ISO  ini  pada  hakekatnya  termasuk  kedalam  model pengendalian    dinamis   dan  menyeluruh    yang   melibatkan   seluruh  jajaran manajemen     untuk  menjamin    konsistensi  kualitas  barang   dan  jasa  yang dihasilkan.

Sistem Penggajian

               Hasil observasi mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi sampel memberi    gambaran   bahwa    sistem  renumerasi   di  koperasi   keragaannya   sangat bervariasi.  Semakin  baik  proses  penerapan  manajemen  di  koperasi  maka  semakin baik  pula penerapan  sistim  renumerasinya. Hal  ini  diindikasikan  dari  adanya  dasar pemberian kompensasi dan penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada tiga koperasi  sampel. Koperasi      lainnya belum memiliki  sistim renumerasi   yang jelas. Secara  umum dapat dikatakan bahwa       rata-rata kompensasi yang  diterima  oleh  karyawan  koperasi  untuk  jenis  pekerjaan,  tingkat  pendidikan, beban  kerja  dan  pengalaman   yang   sama  dibandingkan    dengan  kompensasi    yang  diberikan oleh perusahaan swasta relatif masih lebih rendah.


        Oman  Hadipermana  (2007)  dari  hasil  penelitiannya  di  Jawa  Barat  dan  Lampung mengemukakan      bahwa   terjadinya  ketidakpuasan    karyawan   koperasi   ditemukan karena  kompensasi   yang   diterima  belum  sesuai  dengan   beban  kerjanya.  Adanya perasaan  tidak  puas  dan  tidak  adil  dari  para  karyawan  akan  menyebabkan  hal-hal yang kurang baik bagi pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin  (1993)  disebabkan karena    adanya  gap  antara harapan karyawan  dengan kenyataan yang diperolehnya dari organisasi tempat kerjanya.

        Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja          dari hasil penelitiannya di Maluku Utara, menyimpulkan :
1.  Terdapat  hubungan    yang   positif antara  kompensasi    dengan motivasi   kerja karyawan.    Artinya   meningkatnya    aspek   kompensasi    akan   disertai dengan peningkatan aspek motivasi kerja karyawan.Meskipun terdapat indikasi bahwa kompensasi    kerja  bagi karyawan    dipersepsikan  pada  kategori  rendah   sampai cukup saja.
2.  Motivasi  kerja  karyawan  berpengaruh  positif  terhadap  prestasi  kerja  karyawan. Secara  parsial motivasi   kerja berpengaruh   lebih  besar  dibandingkan   dengan pengaruh   kompensasi    kerja  secara  langsung  terhadap   prestasi kerja.  Artinya walaupun   kompensasi    yang   diterima  karyawan    KUD    masih   rendah,  tetapi karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3.  Kompensasi     kerj a dan   motivasi    kerj a secara   bersama-sama     (simultan) berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid pada tahun 2003 dari studi kasus yang dilakukan di Sumedang (Jawa Barat), menyimpulkan kesimpula penting yang diperoleh:
1.  Secara kualitatif prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini ditunjukkan  oleh jumlah  skor  sebesar  58,33  persen  yang  masuk  dalam  kriteria prestasi kerj a cukup, walaupun masih terdapat indikasi yang masuk dalam kriteria kurang.
2. Secara kualitatif prestasi kerja karyawan unit  simpan pinjam juga masuk  dalam kriteria cukup saja. Kesimpulan hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas kerja karyawan koperasi masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan menurunkan tingkat produktivitas koperasi.Sementara    itu, belum  ditemukan   penelitian  lain yang   difokuskan   kepada hubungan   antara  kompensasi,  motivasi   dengan   produktivitas  kerja pengurus   dan menejer   koperasi.  Kompensasi     bagi  pengurus    koperasi   selain  dalam   bentuk honorarium  atau insentif bulanan juga dari bagian  SHU  dengan prosentasi tertentu.
       
Manajer  selain  memperoleh  gaji  bulanan juga  ditambah  dengan bonus atau  bagian dari  SHU. Dari  pengamatan  lapangan  ada indikasi  sistim  balas jasa bagi  pengurus dan manajer kurang transparan sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kompensasi yang diterima karyawan. Sistem Karier Pada umumnya  sistim karier bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum mapan   dibandingkan    dengan   perusahaan    non  koperasi.  Beberapa    alasan  yang diutarakan oleh para pengurus dan manajer tentang masih buruknya sistim karier di koperasi adalah karena keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya
                                                                                             

        Skala bisnis dan kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan terakhir  konsisten    dengan   apa   yang   telah   dibahas   pada   variabel kompensasi/renumerasi. Dari   aspek   karier,  nampaknya koperasi   masih   bukan lembaga yang menjadi  pilihan  yang menjanjikan untuk  para pencari  kerja  di  pasar tenaga kerja. Karyawan yang saat ini bekerja boleh j adi karena faktor keterpaksaan karena  tidak  terserap  oleh  perusahaan  non  koperasi.  Dengan  kata  lain  karyawan koperasi  masuk  dalam  kualitas  ketiga.  SDM  dengan  kualitas  kesatu  diserap  oleh
       
BUMS  dan     BUMN      yang   sudah  mapan.  Sementara     SDM    dengan    kualitas  kedua diserap oleh sektor pegawai negeri. Survey yang dilakukan IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas  Bina  Nusantara,  Jakarta  terhadap  minat  para  mahasiswa  tingkat  akhir untuk menjadi Wirausaha mandiri, menyimpulkan kurang dari  10 persen responden yang  berminat    menjadi   wirausaha,  meski    tidak dapat   diserap  dalam   pasar  kerja. Selebihnya    90  persen  responden    menyatakan    tidak  berminat   dan  memilih    untuk menjadi    pegawai.   Pilihan   menjadi   pegawai    BUMN      dan   BUMS     yang    mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti menjadi pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal kurikulum    IKOPIN    memuat     misi  mencetak    sarjana  ekonomi    untuk  membangun perekonomian     dengan   koperasi   sebagai  bentuk   kelembagaan     ideal bagi  ekonomi kerakyatan.Temuan     lain  mengindikasikan     bahwa    kewenangan     sentralistik  pengurus  dalam    proses   rekruitmen    dan   penempatan     pegawai    berdampak     kepada   tidak transparannya sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses dan  peluang  kerja  termasuk  pengembangan  karier  terindikasi  kuat  ditentukan  oleh adanya    hubungan    kekerabatan    dengan    pengurus.   Alasan   kemampuan       finansial koperasi nampaknya bukan unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula,sangat jarang ditemukan  adanya koperasi  yang  secara pro  aktif  memasang iklan  di mass media untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.

Efisiensi Usaha Koperasi

                Gambaran  mengenai  tingkat  rentabilitas  ekonomi  (RE)  di  koperasi  sampel menunjukkan     besaran   yang  bervariasi   yaitu  antara  negatif 0,006   persen   (artinya koperasi  masih  menderita  kerugian)     sampai   8,8  persen.  Oleh  karena   standar  RE untuk  koperasi  di  Indonesia  belum  ada  maka  digunakan       standar  industri  sebagai pembanding.     Biasanya   standar   industri  dikelompokkan     kedalam    jenis  usahanya misalnya standar RE untuk usaha perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari deposito  sebagai  opportunity  cost  of  money. Apabila tingkat  bunga      deposito  yang berlaku delapan persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi  tidak  efisien  (terj adi  pemborosan  pemakaian  sumberdaya  ekonomi). Data lapang  menunjukkan  bahwa  sebagian  besar  koperasi  sampel  memiliki  tingkat  RE yang rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.

                Penelitian   Opik   Ropikoh    (2003)   mengenai    Evaluasi   Faktor-faktor   Yang Menyebabkan      Turunnya    Perputaran   Modal    Kerja  dan   Rentabilitas  Ekonomis di Majalengka,  menemukan  kondisi  yang  lebih  parah  yaitu  dari  tahun 1998  sampai tahun  2003,  rata-rata  RE  koperasi  tersebut  kurang  dari  satu  persen  (antara  0,14  -0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa krisis. Sebelum    krisis, Lilis Suryati   (1997)   meneliti   Partisipasi  Anggota    Dalam Kontribusi    Modal   dan   Pemanfaatan      Pelayanan    Koperasi  Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun  1992 sampai    tahun   1996  berkisar   antara  0,09   persen   hingga   3,21  persen. Hal    serupa ditemukan dalam penelitian Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang Pengaruh     Kualitas    Kewirausaahaan       Pribadi    Manajer     Terhadap     Profitabilitas Koperasi. Dari  hasil  penelitiannya  dikemukakan probabilitas koperasi  sampel  yang KSP rata-rata di bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata  koperasi   sampel   memiliki    tingkat  rentabilitas  ekonomi     yang   lebih  baik dibandingkan dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.Kondisi empirik   mengenai    efisiensi   biaya  transaksi   KSP    rata-rata  lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh
Sugiyanto  (2006)  yang  meneliti  manfaat  promosi  ekonomi  anggota pada KSP  dan koperasi   kredit   (Kopdit)   dalam    bentuk    efisiensi  biaya   pinjaman    seperti   biaya administrasi,   provisi   dan  asuransi.     Efisiensi  dihitung   dari  selisih  antara   biaya pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing koperasi.

              Data  juga    menunjukkan      gambaran    yang  positif   terhadap   bisnis  keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki competitive    advantage     yang    ditunjukkan     dengan    rata-rata  memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91 persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan dan  pengawasan  terhadap       KSP  dan  USP  koperasi  oleh  pemerintah  lebih  intensif dibandingkan  dengan  kegiatan  bisnis  koperasi  di  luar  sektor  keuangan. Meskipun begitu,  masih  banyak  ditemukan  KSP/USP  koperasi  yang  berusaha  mencari  celah kelemahan dari peraturan yang ada. Masalah     efisiensi  koperasi   di  negara-negara  bekembang  (termasuk  di  Indonesia) telah menjadi    bahan diskusi panjang      terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel (1985  )  mengkritisi  kegagalan  koperasi  di  negara-negara berkembang  disebabkan oleh :

1. Dampak  koperasi  terhadap  pembangunan  yang  kurang  atau  sangat  kurang  dari organisasi    koperasi,   khususnya     karena   koperasi    tidak   banyak    memberikan sumbangan       dalam    mengatasi     kemiskinan     dan    dalam    mengubah      struktur kekuasaan  sosial  politik  setempat  bagi  kepentingan  golongan  masyarakat  yang miskin.
2. Jasa-jasa  pelayanan  yang  diberikan  oleh  organisasi  koperasi        seringkali  dinilai tidak   efisien   dan   tidak   mengarah     kepada    kebutuhan     anggotanya,     bahkan sebaliknya  hanya  memberikan  manfaat  bagi  para  petani  besar  yang  telah  maju dan kelompok-kelompok tertentu.
3.  Tingkat    efisiensi  perusahaan-perusahaan       koperasi    rendah    (manajemen     tidak mampu, terj adi penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4.  Tingkat    ofisialisasi  yang   yang    sering  kali  terlampau     tinggi  pada   koperasi  (khususnya      koperasi    pertanian),    ditandai    dengan    dukungan/bantuan dan pengawasan yang terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan memperlihatkan sama    seperti  pada   lembaga-lembaga       birokrasi   pemerintah, ketimbang   sebagai   suatu  organisasi  swadaya   yang   otonom,   partisipatif dan berorientasi pada anggota. 5.Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan internasional dan khususnya  kelemahan-kelemahan  pada       strategi  pembangunan  yang  diterapkan pemerintah untuk menunjang organisasi koperas Untuk mengatasi masalah tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi tentang  upaya  meningkatkan  efektivitas  dan  efisiensi  perusahaan  koperasi  sebagai
berikut:

1.  Organisasi koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi harus  memberikan    manfaat   dan  menghasilkan  potensi   peningkatan   pelayanan yang cukup  bagi anggotanya.
2.  Organisasi  koperasi  harus  efisien  dan  efektif  bagi anggotanya,  artinya  setiap anggota  akan   menilai  manfaat   partisipasi dalam  usaha  bersama    lebih efektif untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3.  Dalam  jangka  panjang,  anggota  koperasi  harus  dapat    menerima    saldo  positif antara  pemanfaatan   (insentif)  dari  koperasi dan sumbangan    (kontribusi)  yang diberikan kepada koperasi.
 4. Koperasi harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang dihasilkan  oleh  usaha bersama/koperasi  menjadi  milik  umum. Artinya koperasi harus mampu  mencegah timbulnya dampak  dari penumpang gelap  (f ree  riders) yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.

            Yuyun  Wirasasmita  (1991) berpendapat  bahwa kondisi  koperasi  setelah  era 80-an  dan  90-an, masih  belum  banyak  mengalami  perubahan karena  masih  dalam kondisi :

 1.  Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
 2.  Struktur  organisasi  dan  proses  pengambilan    keputusan   sukar  dimengerti  dan dikontrol dan dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3.  Tujuan  koperasi  dari  sudut  pandang  anggota  sering  dianggap  terlalu  luas  atau terlalu sempit.
 4.  Karyawan    koperasi  dan   para  manajer   dalam  menjalankan    organisasi  sangat tanggap terhadap arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5.  Fasilitas koperasi  terbuka juga bagi  non  anggota  sehingga tidak  ada perbedaan manfaat yang diperoleh anggota dan non anggota. Positioning Koperasi Menghadapi     globalisasi   dengan    segala   indikatornya,   koperasi    perlu melakukan    repositioning  baik   dalam  hal  perilaku  dan   kompetensi   sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius  Roni  Setiawan,   2002  dalam   Sugiyanto,   2008:13).  Repositioning   peran sumberdaya  manusia  dilakukan  dengan  mengubah  pemahaman  organisasi tentang peran  sumberdaya    manusia   yang   semula   dengan   konsep  people   issues  menjadi people  related  business  issues  yang  didefinisikan  sebagai  persoalan  bisnis  yang selalu dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.

                Peran  sumberdaya  manusia  akan  semakin  dihargai  terutama  terkait  dengan kompetensinya  dalam  pengelolaan  bisnis.  Schuller  dan  Jackson,    1997;  Ulrich  D.1997   (dalam  Sugiyanto,   2008),  menawarkan     empat   hal  pokok   yang  berkenaan dengan peran sumberdaya manusia, yaitu menj adi mitra strategis (strategic partner), menjadi ahli administrasi    (administrative    expert),   menjadi     pelopor/pejuang (employee champion), dan menjadi agen perubahan (agent of  change).

                     Hasil  analisis  Sugiyanto   (2006:9)  menyebutkan  bahwa  kinerja  perusahaan koperasi di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerj a pengembalian asset  yang  diinvestasikan  kedalam  perusahaan  koperasi  dengan  ukuran  Return  on Asset (ROA) rata-rata hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang  handal  untuk    mengelola  bisnis  koperasi  juga  masih  kurang.  Tidak semua koperasi   memiliki    manajer,   hanya   satu  dari  empat   koperasi   yang   telah  mampu memiliki manajer. Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar Rp 435,614,-.

                     Rendahnya  rata-rata  kinerja  koperasi,  terutama  dilihat    dari  efisiensi  usaha (RE) secara empiris berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari  fungsi   perencanaan,    pengorganisasian,    Pelaksanaan,    dan  pengendalian    yang lemah  termasuk  sistim  renumerasi, dan  sistim  karier. Dari  sembilan  koperasi  yang diobservasi  hanya  dua koperasi  (22,22 persen)  saj a yang telah  menerapkan  prinsip dan proses manajemen  dengan relatif baik. Dalam pembahasan  sebelumnya diduga hal ini karena koperasi tidak memiliki cukup  sumberdaya yang kompeten di bidang manajerial, atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak memiliki  komitmen  yang  tinggi  untuk  menerapkan  ilmu  manajemen  di  koperasi. Kedua    faktor   penyebab    secara   simultan   memiliki    pengaruh    dominan    terhadap positioning koperasi yang buruk.

                     Positioning   koperasi   di  era  globalisasi   perdagangan    bebas   hanya    dapat dipertahankan bila koperasi mampu  dikelola dengan baik  dan memberikan manfaat ekonomi    bagi   anggotanya    melalui  penciptaan    keunggulan    kompetitif   yang   dapat disediakan koperasi bagi anggota.       Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan tingginya loyalitas dan partisipasi anggota terhadap koperasinya.

                     Ropke  (1989),  Andang  K.  (1993)  dalam  Sugiyanto  (2006:12)  mengajukan model matrik positioning koperasi dari hubungan  antara partisipasi anggota dengan profesionalisme manajemen  dalam     menentukan     keberhasilan     koperasi   untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

                                       Tabel 3. Model Matrik Positioning

Profesionalisme manajemen       
Profesionalisme tinggi           
Profesionalisme rendah
Partisipasi anggota
Partisipasi anggota Tinggi
Koperasi berkembang baik       
Koperasi berkembang lambat
Partisipasi Anggota Rendah           
Koperasi mati pelan-pelan       
Koperasi mati
dengan segera

Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)

                     Apabila  matriks  ini   digunakan  untuk  memotret  kondisi      sembilan  koperasi sampel yang diobservasi, maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi  berkembang  baik:  3  koperasi  atau      33,33  persen   (KPSBU  Lembang, KSP Trisula Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD Harapan Tani).
3. Koperasi  mati  pelan-pelan    :  3  koperasi  atau  33,33  persen  (GKSI  Jawa  Barat, Puskud Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).
4. Koperasi  mati  dengan  segera  :  1 koperasi  atau    11,1 persen  (KUD  Setia  Tani, Sumatera Utara).

                    Dari uraian ini terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh koperasi dalam rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik, dibangun dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan tahapan:
(1)   identifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2)   identifikasi peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3)   identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4)   segmentasi pasar;
(5)   repositioning; dan,
(6)   merancang strategi pemasaran yang tepat (p roduct, place, promotion dan   price) atau strategi bisnis.

Sejauh  ini belum terdapat  fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang telah   melakukan    positioning    ataupun    repositioning    dalam   hal   pengelelolaan sumberdaya,     kelembagaan    maupun     usahanya.   Dengan    demikian    belum   terdapat contoh   best  practice  yang   dapat   dijadikan  rujukan   dan   replikasi bagi   koperasi lainnya.  Koperasi    di Indonesia,   nampaknya     masih   bergulat  dengan   kondisi   dan masalah internalnya.

Nama/NPM  : Nurul Rochmah/25211407

Kelas/tahun :2EB09/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar