TINJAUAN PROSPEK KOPERASI INDONESIA DARI PERSPEKTIF
DISIPLIN
ILMU MANAJEMEN BISNIS
Burhanuddin
Hasil Kajian
Pemahaman
Konsepsi Manajemen
Hasil observasi menunjukkan bahwa
sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan
strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan tugas
manajerialnya di koperasi. Semakin
baik pemahaman konseptual manajemen responden
berarti dapat diduga kuat
adanya korelasi positif dengan perf ormance (kinerja), suasana kerja
di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan pada
koperasi yang diklasifikasi maju (memiliki
kinerja bisnis, finansial dan
organisasi yang baik). Studi khusus mengenai
pemahaman konseptual manajemen
pengurus dan manajer koperasi
sejauh ini masih
belum ditemukan. Namun,
masih cukup relevan pernyataan filsuf
Jerman, Emmanuel Kant
(dalam Ropke, 1985)
bahwa tidak ada praktek yang berhasil baik tanpa memahami
konsepsi teori yang baik pula. Penelitian
Sugiyanto (2006) tentang
Pengaruh Kompetensi dan
Komitmen Pengurus dan Manajer Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi
Anggota dan Struktur Modal Koperasi pada Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi
Kredit di Jawa Barat, menyimpulkan bahwa
secara simultan kompetensi
dan komitmen pengurus dan
manajer memberikan pengaruh
positif baik langsung
maupun tidak langsung terhadap kinerja
keuangan, promosi ekonomi
anggota, dan struktur
keuangan koperasi.
Fungsi dan Proses Manajemen
1.
Keragaan Fungsi dan Proses Perencanaan
Dimensi Penetapan Tujuan Dari sembilan koperasi sampel
yang diobservasi, hanya satu koperas (KPSBU
Lembang) atau 11,1
persen yang memiliki visi
jangka panjang secara tertulis, sementara delapan
koperasi lainnya belum memiliki.
Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya adalah ”Menjadi
koperasi susu terdepan di Indonesia
dalam mensejahterakan anggota”.
Pada tahun 1980 jumlah anggota
319 orang dengan produksi susu rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah
anggota meningkat menjadi 6.092 orang anggota dengan produksi susu per
hari 103.384 kg. Data ini
mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran
susu. Dalam perumusan tujuan
(target) jangka pendek,
pada umumnya koperasi sampel
merumuskannya dalam kalimat kualitatif dengan target yang tidak terukur. Berikut ini
adalah contoh tujuan
koperasi yang dikumpulkan dari Rencana
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Koperasi (RAPBK)
yang disampaikan dalam rapat anggota tahunan (RAT). Contoh tujuan
tersebut masih sangat
bersifat normatif dan
tidak terukur. Tujuan ini tidak
memberikan arahan sebagai
pedoman tindakan, alokasi sumberdaya baik
sarana fisik, manusia maupun
dana.
Beberapa literatur yang
ditulis oleh Dulfer
(1984), Hanel (1984),
dan Gupta (1985) menyatakan bahwa perumusan tujuan
koperasi seringkali tidak mudah seperti perusahaan kapitalistik dengan shareholders,
karena melibatkanberbagai pihak
yang memiliki berbagai
kepentingan. Ketidakseimbangan dalam mengakomodasi secara proporsional
seringkali menj adi sumber konflik yang membuat organisasi koperasi dalam
perjalanannya tidak stabil. Dulfer
(1984) dan Gupta
(1985) menyatakan bahwa
model koperasi tradisional dan koperasi
terpadu yang dalam
proses perumusan tujuannya selalu berorientasi pada anggota
akan lebih mampu bertahan dan berkembang dibandingkan dengan
koperasi tipe pedagang
yang dalam proses perencanaannya cenderung didominansi oleh
kelompok vested interest (Petani kaya, Pengurus dan atau
pihak pemodal kuat).Dimensi Tindakan Pada
koperasi sampel, ditemukan
pada umumnya tujuan
ditetapkan secara kualitatif.
Konsekwensinya, tindakan dan proses untuk mencapai tujuan juga menjadi tidak
jelas. Penggunaan asumsi untuk
peramalan target yang digunakan masih sangat
sederhana dengan mengambil patokan
angka-angka capaian tahun sebelumnya.
Sedangkan di perusahaan
modern non koperasi sudah digunakan
model peramalan matematika dan
statistika dengan memasukkan
berbagai variabel penentu
keberhasilan seperti waktu, musim,dan risiko
yang dihitung berdasarkan
teori kemungkinan (probabilitas). Hal ini dapat
dilakukan karena adanya
dukungan teknologi dan
SDM yang handal.
Dimensi Sumberdaya
Sebagian besar koperasi dalam
perencanaannya belum mengalokasikan sumberdayanya secara
baik. Perencanaan program masih disusun secara
garis besar yang
biasanya dibagi menurut
bidang seperti bidang organisasi
dan manajemen, bidang
usaha, bidang permodalan,
dan bidang kesejahteraan anggota dan pengelola. Alokasi sumberdaya umumnya hanya tergambarkan
dalam RAPBK, tidak menjelaskan jadwal, SDM
yang terlibat, sumber dan penggunaan dana secara rinci.
Dimensi Implementasi
Dari sembilan koperasi
yang diobservasi, hanya
KPSBU Lembang saja yang memiliki
dokumen rencana kerja yang dilengkapi dengan Standard Operating Procedur
(SOP) dan petunjuk
teknis (Juknis) tertulis.
Menurut keterangan pengurus dan
manajer, KUD ketika
menangani usaha program dari pemerintah seperti penyaluran
KUT, Pengadaan Pangan, dan penyaluran Pupuk,
pernah memiliki Juklak
dan Juknis, meski
disusunkan oleh pihak pemerintah.
Dimensi Jenis dan Proses Perencanaan
Fakta empiris ditemukan
pada 2 KPSBU,
yang sudah menerapkan proses perumusan rencana strategis
jangka panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi ini memperkuat pendapat
Ropke (1985) bahwa
pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam bidang usaha akan
sangat dipengaruhi oleh kualitas
partisipasi anggota. Adapun kualitas partisipasi anggota
ditentukan oleh interaksi tiga variabel, yaitu kemampuan anggota dalam
menyampaikan aspirasi dan keinginannya, kemampuan manajemen koperasi
untuk menangkap keinginan anggota dan kemampuan koperasi dalam
merumuskan program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan/keinginan anggota.
Sebagian besar koperasi
sampel belum memiliki
rencana strategis jangka panjang
yang berisikan visi, sebagai arahan
misi, tujuan dan strategi koperasi serta memudahkan pengembangan rencana
program pada setiap bidang fungsional atau unit usaha
koperasi. Dari sembilan koperasi
sampel yang diamati, hanya
satu koperasi yang telah memiliki rencana
strategis. Delapan koperasi lainnya
hanya memiliki rencana program
tahunan (jangka pendek).
Menurut teori manajemen modern,
koperasi yang masih
berorientasi jangka pendek mungkin cocok pada situasi lingkunganbisnis
yang stabil, tetapi akan segera tergusur pada situasi lingkungan bisnis yang
berubah cepat. Adanya pemahaman konseptual manajemen
yang baik dari para pengurus dan manajer, belum menjadi
dimensi kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi dan proses perencanaan
yang efektif. Padahal penelitian Sugianto (2006) mengenai Pengaruh Kompetensi
dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan
Struktur Modal Koperasi Simpan Pinj am
dan Koperasi Kredit di Jawa Barat menyimpulkan sebagai berikut:
1.Kompetensi
manajerial manajemen koperasi
(Pengurus, Pengawas dan
Manajer Koperasi)
berpengaruh positif
terhadap kinerja keuangan
koperasi dan
promosi anggota.
2. Komitmen
manajemen koperasi (Pengurus,
Pengawas dan Manajer
Koperasi)
secara simultan berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan
Koperasi dan
Promosi Ekonomi Anggota. Dimensi komitmen diwujudkan
dalam indikator
keinginan menjaga nama
baik lembaga, kesepakatan
mencapai tujuan dan
nilai organisasi, mengutamakan kepentingan
lembaga,
serta sikap dan perilaku menjalankan strategi lembaga.
Temuan penelitian Sugianto
setidaknya mengungkap bahwa
pemahaman
konseptual manajerial baik
pengurus maupun manajer koperasi tidak secara otomatis diikuti oleh
komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kinerj a manajerialnya di koperasi. Dengan
kata lain pihak manajemen koperasi memiliki
pemahaman dan kemampuan
manajerial tetapi belum tergerak mengimplementasikannya untuk
mencapai kemajuan koperasi. Diduga disebabkan oleh beberapa
faktor seperti insentif, motivasi berprestasi atau adanya
konflik kepentingan antara
pemilik (principal) dengan manajemen (agent).
Penelitian Untung Wahyudi (2007) yang mengacu pada agency theory
(anggota koperasi adalah
principal dan pengurus
adalah agent), tugas pengurus
adalah memaksimalkan atau meningkatkan
kekayaan anggota. Hal ini diduga sulit diwujudkan di koperasi karena
berdasarkan pengamatannya,kebanyakan pengurus koperasi bukan berasal dari
kalangan profesional dalam bisnis
koperasi. Konsekwensinya, konflik
kepentingan seringkali muncul kepermukaan. Dalam beberapa
kasus baik pengurus
maupun manajer yang diangkat
oleh koperasi memiliki
usaha/bisnis yang bersaing
dengan bisnis koperasi. Beberapa
literatur koperasi menyebut kelompok
ini sebagai kelompok vested
interest yang memanfaatkan
fasilitas dan jaringan
bisnis koperasi untuk kepentingan bisnis pribadi. Hasilnya bisnis
kelompok vested interest makin berkembang sedangkan
bisnis koperasi jalan
di tempat. Kondisi ini banyak
ditemui pada saat dukungan kebijakan pemerintah melalui usaha program cukup
dominan.
2.
Keragaan Fungsi dan Proses Pengorganisasian
Dimensi
Struktur
Secara umum koperasi sudah memiliki deskripsi tugas secara
tertulis,meskipun dalam versi dan kedalaman yang bervariasi. Dilihat dari
formalisasi maksud dan tujuan
pekerjaan yang ditetapkan,
seluruh koperasi sampe menetapkan pembagian
kerja kedalam unit
atau divisi/departemen secara formal melalui keputusan rapat
anggota, meskipun disain struktur kebanyakan dilakukan oleh
pengurus. Formalisasi tugas
ini oleh pengurus
dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas. Kompleksitas struktur ini
memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan yang
lebih komplek seperti pada KUD dan
koperasi peternakan. Jenjang struktur
vertikal bervariasi antara
tiga sampai dengan lima
jenjang. Jenjang struktur tiga tingkat
yaitu Rapat Anggota,Pengurus,
dan Unit ditemukan pada KUD Setia Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur lima
tingkat dimulai dari
Rapat Anggota, Pengurus, Manajer,
Unit dan Sub unit,
ditemukan di tiga
koperasi contoh. Diferensiasi
horizontal,yaitu kelebaran
struktur pada level yang sama juga bervariasi sesuai dengan banyaknya fungsi
usaha yang ditangani.
Kedalaman dan kelebaran
dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali manajemen.Disain
Struktur (Departementasi) Desain
organisasi koperasi pada
umumnya menggunakan model fungsional sesuai
komoditas usaha yang
ditangani. Koperasi dengan
disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan dengan anggota yang
dilayani jumlah unit usaha
yang ditangani) relatif fleksibel dalam
mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan eksternalnya,
mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi yang memiliki
struktur organisasi gemuk, kurang
fleksibel dan diorganisasikan dengan
pola lama tanpa memanfaatkan
teknologi informasi menghadapi masalah jalan ditempat dan cenderung tidak
berkembang.
Temuan penting lainnya dari kajian ini adalah
mengenai inkonsistensi dan ketidaksesuaian antara
tujuan meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi dengan
disain tugas. Disain
tugas koperasi pada
umumnya tidak membedakan antara fungsi
pelayanan dan bisnis. Hanya
pada satu koperasi sampel yang sudah memisahkan antara
unit pelayanan yang berorientasi pada kesejahteraan anggota dengan unit bisnis
sebagai prof it centre. Disain tugas koperasi
yang digambarkan dalam
diagram struktur organisasi,
pada umumnya tidak memiliki divisi atau departemen Research and
Development (R&D) dan Human
Resources Development (HRD).
Padahal, kedua departemen ini
memiliki posisi vital
dalam pengembangan kompetensi sumberdaya manusia
koperasi dan proses
inovasi koperasi. Di perusahaan-perusahaan modern
pesaing koperasi biasanya
memiliki kedua departemen tersebut agar mampu bertahan dalam
kompetisi. Tidak tertutup kemungkinan disain
organisasi seperti ini yang
menyebabkan koperasi kalah
bersaing dengan perusahaan kapitalistik. Meski perlu
dicatat bahwa perbedaan orientasi pada kedua organisasi perusahaan
kemungkinan menjadi penyebab lainnya.
Dimensi Pembagian Wewenang
Pembagian wewenang, tugas
dan tanggung jawab
perangkat organisasi koperasi secara garis besar diatur oleh
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992, tentang Perkoperasian, yang
selanjutnya oleh masing-masing koperasi dijabarkan
dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah
Tangga Koperasi. Rapat Anggota
memegang kekuasaan tertinggi
dan memiliki kewenangan sentral
dalam pengambilan keputusan strategis koperasi. Dalam implementasinya,
pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut di
lapangan hampir tidak
ditemukan masalah, artinya
masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam
hal pendelegasian wewenang dari pengurus kepada
manajer, dari manajer kepada
kepala unit ditemukan fakta
yang bervariasi tiga koperasi contoh sudah
mendistribusikan wewenang kepada
level dibawahnya secara proporsional. Sistim
pengambilan keputusan manajemen
sudah sepenuhnya melibatkan staf. Meskipun masih
ada stereotipe bahwa
pengurus hanya memberikan wewenang
kepada manajer untuk
menangani bisnis koperasi yang kurang
menguntungkan (jabatan kering),
sedangkan bisnis yang prof itable (jabatan basah) tetap
dipegang oleh pengurus.
Di lapangan
juga ditemukan ada
kecenderungan, koperasi yang
dipegang
oleh pengurus berusia
lanjut dan memegang
kepengurusan relatif lama
(beberapa periode) cenderung
kurang memberikan wewenang
yang proporsional kepada level di bawahnya dengan sistim pengambilan
keputusan komando, model organisasi garis
(ditemukan pada KUD Karya Teguh,
dan KUD Trisula).
Dimensi Koordinasi Menggerakkan Organisasi
Paradigma baru peran dan tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini
bergeser dari cara-cara lama
yang cenderung otoriter, satu arah
dimana seorang pemimpin atau
manajer perusahaan berprinsip
doing things right bergeser kearah
pemimpin yang lebih
demokratis dengan prinsip doing
the right thing.
Standarisasi suatu proses kegiatan yang dij abarkan dalam bentuk SOP,
Juknis, Juklak hanya
ditemukan padadua koperasi
sampel. Pada kedua koperasi tersebut dirasakan adanya
suasana kerja yang
dinamis dengan aktifitas usaha
berjalan dengan baik.
Tingkat kehadiran pihak
manajemen dan disiplin waktu kehadiran mempengaruhi disiplin dan motivasi
kerj a karyawan. Pengurus dan manajer yang
disiplin dalam waktu
dan kehadiran telah
membentuk budaya kerja disiplin yang positif di koperasi.
Kondisi ini diamati sangat nyata pada dua di Jawa Barat dan Sumut.
Observasi langsung mengenai
seberapa sering pihak
manajemen melaksanakan rapat kordinasi
dan pengarahan dalam
rangka meningkatkan efektivitas kerja karyawan tidak mudah dilakukan.
Meskipun dalam dokumen tertulis Laporan
Tahunan dilaporkan baik oleh
Pengurus maupun Pengawas
menyebutkan frekuensi rapat
dengan periodisasi bervariasi.
Koperasi yang memiliki unit
usaha yang banyak
dengan kompleksitas tinggi
melaporkan frekuensi rapat kordinasi
dan pengarahan yang
tinggi. Pada KSP,
karena setiap minggu harus
memutuskan penyaluran pinjaman juga
melaksanakan rapat dengan frekuensi tinggi.
Seringnya pihak manajemen
menyelenggarakan rapat koordinasi dan
pengarahan setidaknya menggambarkan proses
kepemimpinan sudah
berlangsung dengan baik.
Pengamatan mengenai efektifitas fungsi kepemimpinan di
koperasi ditinjau dari munculnya komitmen,
kepuasan kerja, dan produktivitas
kerja karyawan, masih mengalami kesulitan
karena faktor keterbatasan waktu pengamatan.
Khusus mengenai proses
menggerakkan (actuating) di organisasi koperasi saat ini masih sulit
ditemukan baik dalam bentuk buku teks, maupun hasil penelitian.
Sementara itu, literatur
manajemen khususnya di
negara- negara maju banyak
menyajikan action research
untuk menguji teori kepemimpinan terutama dari
aspek motivasi, kepuasan
kerja dan produktivitas
karyawan.
Dimensi Kerjasama
Aspek
lain yang diobservasi dalam variabel
pengorganisasian adalah kerjasama
koperasi dengan pihak lain. Semua koperasi
sampel yang diamati belum
memanfaatkan kerjasama antar koperasi
baik dalam bentuk aliansi strategis, integrasi vertikal
maupun intergrasi horisontal
(dalam rangka menurunkan biaya
transaksi, mengurangi risiko ketidakpastian, meningkatkan nilai tambah,
dan memperluas pasar).
Kondisi ini masih
tidak berubah dan cenderung semakin
buruk. Kondisi seperti
itu sejalan dengan
hasil kesimpulan penelitian Litbang
Depkop bekerja sama
dengan LPPM-Ikopin pada tahun
1993. Padahal pada
masa itu dukungan pemerintah
terhadap KUD/koperasi masih sangat
kuat dengan fasilitas
kredit program dan
hak monopoli pemasaran dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk,
kedelai, terigu, gula, susu, dan gabah/beras.
Praktek
interlinkage market, dalam skala terbatas ditemukan pada satu koperasi contoh
yang mempraktekkan pengembangan
usaha (mirip model holding
company) dengan koperasi lainnya. Keterkaitan bisnis dan pasar dari ketiga badan
hukum tersebut sangat
kuat dan saling
mendukung satu sama lainnya. Pembelian oleh
anggota dari Koperasi Pertanian
dibiayai oleh KSP dengan pola jual tunda dengan jaminan
komoditas yang ada di gudang KSP (pola
ini diadopsi menjadi
kredit dengan j aminan Resi
Gudang) sehingga anggota memperoleh
harga pembelian yang
baik. KSP tidak mengalami kesulitan modal
kerj a dan KSP
Trisula dapat menyalurkan
kredit/pinjaman dengan aman.
Kasus ini sebenarnya menguatkan pendapat
bahwa organisasi
yang mampu melakukan aliansi strategis (interlinkage market) dapat saling menguntungkan dan mengurangi risiko
ketidakpastian.
3.
Keragaan Proses Pengendalian
Observasi tentang proses pengendalian manajemen di koperasi sampel
difokuskan kepada bebrapa indikator
seperti penetapan standar dan metoda, pengukuran prestasi, analisis, serta tindakan
korektif. Sumber informasi diperoleh dari
pengamatan langsung, penuturan
responden, dokumen perencanaan dan
laporan tahunan yang disampaikan pada RAT. Hasil observasi
menemukan bahwa proses pengendalian manajemen di
koperasi pada umumnya
masuk dalam kategori
kurang sampai sedang. Kondisi
ini sangat erat dengan proses perencanaan yang lemah,
perumusan tujuan dan alokasi
sumberdaya yang tidak jelas dan berdampak pada penetapan standar untuk pengendalian menjadi
bias. Sebagian besar koperasi juga
belum menyusun anggaran
kas yang berfungsi untuk
pengelolaan dan pengendalian anggaran
koperasi. Pengendalian yang
umum dilakukan oleh sampel
masih terbatas pada pengukuran
efektivitas penggunaan anggaran (membandingkan rencana anggaran dengan
realisasi).
Analisis laporan keuangan
dengan menggunakan model rasio leverage, rasio
aktivitas dan rasio
profitabilitas. Sementara
perusahaan-perusahaan modern kapitalistik
telah beralih kepada
konsep Total Quality Management (TQM)
atau Total Quality
Controll (TQC) hingga standarisasi proses dengan
sistim ISO. Inovasi
metoda dan proses pengendalian
baik dengan TQM,TQC atau
ISO ini pada
hakekatnya termasuk kedalam
model pengendalian dinamis dan
menyeluruh yang melibatkan
seluruh jajaran manajemen untuk
menjamin konsistensi kualitas
barang dan jasa
yang dihasilkan.
Sistem Penggajian
Hasil observasi mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi
sampel memberi gambaran bahwa
sistem renumerasi di
koperasi keragaannya sangat bervariasi. Semakin
baik proses penerapan
manajemen di koperasi
maka semakin baik pula penerapan sistim
renumerasinya. Hal ini diindikasikan
dari adanya dasar pemberian kompensasi dan penetapan
komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada tiga
koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim renumerasi yang jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi yang diterima
oleh karyawan koperasi
untuk jenis pekerjaan,
tingkat pendidikan, beban kerja
dan pengalaman yang
sama dibandingkan dengan
kompensasi yang diberikan oleh perusahaan swasta relatif
masih lebih rendah.
Oman Hadipermana (2007)
dari hasil penelitiannya
di Jawa Barat
dan Lampung mengemukakan bahwa
terjadinya ketidakpuasan karyawan
koperasi ditemukan karena kompensasi
yang diterima belum
sesuai dengan beban
kerjanya. Adanya perasaan tidak
puas dan tidak
adil dari para
karyawan akan menyebabkan
hal-hal yang kurang baik bagi pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut
menurut Bernadin (1993) disebabkan karena adanya
gap antara harapan karyawan dengan kenyataan yang diperolehnya dari
organisasi tempat kerjanya.
Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh
Kompensasi dan Motivasi Kerja
dari hasil penelitiannya di Maluku Utara, menyimpulkan :
1.
Terdapat hubungan yang
positif antara kompensasi dengan motivasi kerja karyawan. Artinya
meningkatnya aspek kompensasi
akan disertai dengan peningkatan
aspek motivasi kerja karyawan.Meskipun terdapat indikasi bahwa kompensasi kerja
bagi karyawan
dipersepsikan pada kategori
rendah sampai cukup saja.
2.
Motivasi kerja karyawan berpengaruh
positif terhadap prestasi
kerja karyawan. Secara parsial motivasi kerja berpengaruh lebih
besar dibandingkan dengan pengaruh kompensasi
kerja secara langsung
terhadap prestasi kerja. Artinya walaupun kompensasi
yang diterima karyawan
KUD masih rendah,
tetapi karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3.
Kompensasi kerj a dan motivasi
kerj a secara bersama-sama (simultan) berpengaruh positif terhadap
prestasi kerja karyawan.Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid
pada tahun 2003 dari studi kasus yang dilakukan di Sumedang (Jawa Barat),
menyimpulkan kesimpula penting yang diperoleh:
1. Secara
kualitatif prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah skor
sebesar 58,33 persen
yang masuk dalam
kriteria prestasi kerj a cukup, walaupun masih terdapat indikasi yang
masuk dalam kriteria kurang.
2. Secara kualitatif prestasi kerja karyawan unit simpan pinjam juga masuk dalam kriteria cukup saja. Kesimpulan
hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas kerja
karyawan koperasi masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan
menurunkan tingkat produktivitas koperasi.Sementara itu, belum
ditemukan penelitian lain yang
difokuskan kepada hubungan antara
kompensasi, motivasi dengan
produktivitas kerja pengurus dan menejer
koperasi. Kompensasi bagi
pengurus koperasi selain
dalam bentuk honorarium atau insentif bulanan juga dari bagian SHU
dengan prosentasi tertentu.
Manajer
selain memperoleh gaji
bulanan juga ditambah dengan bonus atau bagian dari
SHU. Dari pengamatan lapangan
ada indikasi sistim balas jasa bagi pengurus dan manajer kurang transparan
sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih besar dibandingkan dengan
rata-rata kompensasi yang diterima karyawan. Sistem Karier Pada umumnya sistim karier bagi karyawan koperasi tidak
jelas atau belum mapan dibandingkan dengan
perusahaan non koperasi.
Beberapa alasan yang diutarakan oleh para pengurus dan
manajer tentang masih buruknya sistim karier di koperasi adalah karena
keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya
Skala bisnis dan kemampuan koperasi dalam
memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan terakhir konsisten
dengan apa yang
telah dibahas pada
variabel kompensasi/renumerasi. Dari
aspek karier, nampaknya koperasi masih
bukan lembaga yang menjadi
pilihan yang menjanjikan
untuk para pencari kerja
di pasar tenaga kerja. Karyawan
yang saat ini bekerja boleh j adi karena faktor keterpaksaan karena tidak
terserap oleh perusahaan
non koperasi. Dengan
kata lain karyawan koperasi masuk
dalam kualitas ketiga.
SDM dengan kualitas
kesatu diserap oleh
BUMS
dan BUMN yang
sudah mapan. Sementara
SDM dengan kualitas
kedua diserap oleh sektor pegawai negeri. Survey yang dilakukan IKOPIN
(Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas Bina
Nusantara, Jakarta terhadap
minat para mahasiswa
tingkat akhir untuk menjadi
Wirausaha mandiri, menyimpulkan kurang dari
10 persen responden yang
berminat menjadi wirausaha,
meski tidak dapat diserap
dalam pasar kerja. Selebihnya 90
persen responden menyatakan tidak
berminat dan memilih
untuk menjadi pegawai. Pilihan
menjadi pegawai BUMN
dan BUMS yang
mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti menjadi
pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat
pilihan kariernya. Padahal kurikulum
IKOPIN memuat misi
mencetak sarjana ekonomi
untuk membangun perekonomian dengan
koperasi sebagai bentuk
kelembagaan ideal bagi ekonomi kerakyatan.Temuan lain
mengindikasikan bahwa kewenangan sentralistik pengurus
dalam proses rekruitmen
dan penempatan pegawai berdampak
kepada tidak transparannya
sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses dan peluang
kerja termasuk pengembangan
karier terindikasi kuat
ditentukan oleh adanya hubungan
kekerabatan dengan pengurus.
Alasan kemampuan finansial koperasi nampaknya bukan unsur
utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula,sangat jarang ditemukan adanya koperasi yang
secara pro aktif memasang iklan di mass media untuk rekrutasi karyawan secara
terbuka.
Efisiensi Usaha Koperasi
Gambaran mengenai
tingkat rentabilitas ekonomi
(RE) di koperasi
sampel menunjukkan besaran yang
bervariasi yaitu antara
negatif 0,006 persen (artinya koperasi masih
menderita kerugian) sampai
8,8 persen. Oleh
karena standar RE untuk
koperasi di Indonesia
belum ada maka
digunakan standar industri
sebagai pembanding.
Biasanya standar industri
dikelompokkan kedalam jenis
usahanya misalnya standar RE untuk usaha perdagangan, RE usaha
manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha pertambangan dan sebagainya.
Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen keuangan adalah menggunakan
standar tingkat bunga pasar dari deposito
sebagai opportunity cost
of money. Apabila tingkat bunga
deposito yang berlaku delapan
persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi tidak
efisien (terj adi pemborosan
pemakaian sumberdaya ekonomi). Data lapang menunjukkan
bahwa sebagian besar
koperasi sampel memiliki
tingkat RE yang rendah (tidak
efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis keuangan
mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Penelitian Opik Ropikoh
(2003) mengenai Evaluasi
Faktor-faktor Yang
Menyebabkan Turunnya Perputaran
Modal Kerja dan
Rentabilitas Ekonomis di
Majalengka, menemukan kondisi
yang lebih parah
yaitu dari tahun 1998
sampai tahun 2003, rata-rata
RE koperasi tersebut
kurang dari satu
persen (antara 0,14
-0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih
dalam masa krisis. Sebelum krisis,
Lilis Suryati (1997) meneliti
Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal
dan Pemanfaatan Pelayanan Koperasi
Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi di Indramayu, juga
mendapatkan RE dari tahun 1992
sampai tahun 1996
berkisar antara 0,09
persen hingga 3,21
persen. Hal serupa ditemukan
dalam penelitian Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang
Pengaruh Kualitas Kewirausaahaan Pribadi Manajer
Terhadap Profitabilitas
Koperasi. Dari hasil penelitiannya
dikemukakan probabilitas koperasi
sampel yang KSP rata-rata di
bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata koperasi
sampel memiliki tingkat
rentabilitas ekonomi yang
lebih baik dibandingkan dengan
koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah
dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.Kondisi empirik mengenai
efisiensi biaya transaksi
KSP rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan lembaga
keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh
Sugiyanto
(2006) yang meneliti
manfaat promosi ekonomi
anggota pada KSP dan
koperasi kredit (Kopdit)
dalam bentuk efisiensi
biaya pinjaman seperti
biaya administrasi, provisi dan
asuransi. Efisiensi dihitung
dari selisih antara
biaya pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada
pihak pesaing koperasi.
Data juga menunjukkan gambaran yang
positif terhadap bisnis
keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit
terbukti memiliki competitive advantage yang
ditunjukkan dengan rata-rata
memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91 persen dibandingkan para
pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini
bisa jadi karena pembinaan dan
pengawasan terhadap KSP
dan USP koperasi
oleh pemerintah lebih
intensif dibandingkan dengan kegiatan
bisnis koperasi di
luar sektor keuangan. Meskipun begitu, masih
banyak ditemukan KSP/USP
koperasi yang berusaha
mencari celah kelemahan dari
peraturan yang ada. Masalah
efisiensi koperasi di
negara-negara bekembang (termasuk
di Indonesia) telah menjadi bahan diskusi panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi.
Hanel (1985 ) mengkritisi
kegagalan koperasi di
negara-negara berkembang
disebabkan oleh :
1. Dampak
koperasi terhadap pembangunan
yang kurang atau
sangat kurang dari organisasi koperasi,
khususnya karena koperasi
tidak banyak memberikan sumbangan dalam
mengatasi kemiskinan dan
dalam mengubah struktur kekuasaan sosial
politik setempat bagi
kepentingan golongan masyarakat
yang miskin.
2. Jasa-jasa
pelayanan yang diberikan
oleh organisasi koperasi seringkali dinilai tidak efisien
dan tidak
mengarah kepada kebutuhan anggotanya, bahkan sebaliknya hanya
memberikan manfaat bagi
para petani besar
yang telah maju dan kelompok-kelompok tertentu.
3. Tingkat efisiensi
perusahaan-perusahaan
koperasi rendah (manajemen tidak mampu, terj adi penyelewengan,
korupsi, nepotisme, dll).
4. Tingkat ofisialisasi yang
yang sering kali
terlampau tinggi pada
koperasi (khususnya koperasi pertanian), ditandai
dengan dukungan/bantuan dan pengawasan
yang terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan memperlihatkan
sama seperti pada
lembaga-lembaga
birokrasi pemerintah,
ketimbang sebagai suatu
organisasi swadaya yang
otonom, partisipatif dan berorientasi
pada anggota. 5.Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan
internasional dan khususnya
kelemahan-kelemahan pada strategi
pembangunan yang diterapkan pemerintah untuk menunjang
organisasi koperas Untuk mengatasi masalah tersebut, Hanel merumuskan beberapa
rekomendasi tentang upaya meningkatkan
efektivitas dan efisiensi
perusahaan koperasi sebagai
berikut:
1. Organisasi
koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi harus memberikan
manfaat dan menghasilkan
potensi peningkatan pelayanan yang cukup bagi anggotanya.
2.
Organisasi koperasi harus
efisien dan efektif
bagi anggotanya, artinya setiap anggota akan
menilai manfaat partisipasi dalam usaha
bersama lebih efektif untuk
mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3. Dalam jangka
panjang, anggota koperasi
harus dapat menerima
saldo positif antara pemanfaatan
(insentif) dari koperasi dan sumbangan (kontribusi) yang diberikan kepada koperasi.
4. Koperasi
harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang
dihasilkan oleh usaha bersama/koperasi menjadi
milik umum. Artinya koperasi
harus mampu mencegah timbulnya
dampak dari penumpang gelap (f ree
riders) yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan
untuk anggota.
Yuyun
Wirasasmita (1991)
berpendapat bahwa kondisi koperasi
setelah era 80-an dan
90-an, masih belum banyak
mengalami perubahan karena masih
dalam kondisi :
1. Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai
keinginan anggotanya.
2. Struktur
organisasi dan proses
pengambilan keputusan sukar
dimengerti dan dikontrol dan
dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3. Tujuan koperasi
dari sudut pandang
anggota sering dianggap
terlalu luas atau terlalu sempit.
4. Karyawan
koperasi dan para
manajer dalam menjalankan
organisasi sangat tanggap terhadap
arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5. Fasilitas
koperasi terbuka juga bagi non
anggota sehingga tidak ada perbedaan manfaat yang diperoleh anggota
dan non anggota. Positioning Koperasi Menghadapi globalisasi dengan
segala indikatornya, koperasi
perlu melakukan repositioning baik
dalam hal perilaku
dan kompetensi sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya
meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius Roni
Setiawan, 2002 dalam
Sugiyanto, 2008:13). Repositioning
peran sumberdaya manusia
dilakukan dengan mengubah
pemahaman organisasi tentang
peran sumberdaya manusia
yang semula dengan
konsep people issues
menjadi people related business
issues yang didefinisikan
sebagai persoalan bisnis
yang selalu dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.
Peran sumberdaya manusia
akan semakin dihargai
terutama terkait dengan kompetensinya dalam
pengelolaan bisnis. Schuller
dan Jackson, 1997;
Ulrich D.1997 (dalam
Sugiyanto, 2008), menawarkan
empat hal pokok
yang berkenaan dengan peran
sumberdaya manusia, yaitu menj adi mitra strategis (strategic partner), menjadi
ahli administrasi (administrative expert),
menjadi pelopor/pejuang (employee
champion), dan menjadi agen perubahan (agent of
change).
Hasil analisis Sugiyanto
(2006:9) menyebutkan bahwa
kinerja perusahaan koperasi di
Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerj a pengembalian asset yang
diinvestasikan kedalam perusahaan
koperasi dengan ukuran
Return on Asset (ROA) rata-rata
hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang handal
untuk mengelola bisnis
koperasi juga masih
kurang. Tidak semua koperasi memiliki
manajer, hanya satu
dari empat koperasi
yang telah mampu memiliki manajer. Rata-rata partisipasi
kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar Rp 435,614,-.
Rendahnya rata-rata kinerja
koperasi, terutama dilihat
dari efisiensi usaha (RE) secara empiris berkaitan erat
dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari fungsi
perencanaan, pengorganisasian, Pelaksanaan, dan
pengendalian yang lemah termasuk
sistim renumerasi, dan sistim
karier. Dari sembilan koperasi
yang diobservasi hanya dua koperasi
(22,22 persen) saj a yang
telah menerapkan prinsip dan proses manajemen dengan relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga hal ini karena koperasi
tidak memiliki cukup sumberdaya yang
kompeten di bidang manajerial, atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang
cukup baik tetapi tidak memiliki
komitmen yang tinggi
untuk menerapkan ilmu
manajemen di koperasi. Kedua faktor
penyebab secara simultan
memiliki pengaruh dominan
terhadap positioning koperasi yang buruk.
Positioning koperasi di
era globalisasi perdagangan bebas
hanya dapat dipertahankan bila
koperasi mampu dikelola dengan baik dan memberikan manfaat ekonomi bagi
anggotanya melalui penciptaan
keunggulan kompetitif yang
dapat disediakan koperasi bagi anggota. Manfaat ekonomi inilah yang akan
menyebabkan tingginya loyalitas dan partisipasi anggota terhadap koperasinya.
Ropke (1989), Andang
K. (1993) dalam
Sugiyanto (2006:12) mengajukan model matrik positioning koperasi
dari hubungan antara partisipasi anggota
dengan profesionalisme manajemen dalam menentukan keberhasilan koperasi
untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
Tabel 3.
Model Matrik Positioning
Profesionalisme manajemen
Profesionalisme tinggi
Profesionalisme rendah
Partisipasi anggota
Partisipasi anggota Tinggi
Koperasi berkembang baik
Koperasi berkembang lambat
Partisipasi Anggota Rendah
Koperasi mati pelan-pelan
Koperasi mati
dengan segera
Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)
Apabila matriks ini
digunakan untuk memotret
kondisi sembilan koperasi sampel yang diobservasi, maka
positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi
berkembang baik: 3
koperasi atau 33,33
persen (KPSBU Lembang, KSP Trisula Majalengkan dan KSP
Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22
persen (KUD Trisula, KUD Harapan Tani).
3. Koperasi
mati pelan-pelan :
3 koperasi atau
33,33 persen (GKSI
Jawa Barat, Puskud Sumatera
Utara, dan KUD Karya Teguh).
4. Koperasi
mati dengan segera
: 1 koperasi atau
11,1 persen (KUD Setia
Tani, Sumatera Utara).
Dari uraian ini terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh
oleh koperasi dalam rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang
baik, dibangun dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai
dengan tahapan:
(1)
identifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2)
identifikasi peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3)
identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4) segmentasi
pasar;
(5)
repositioning; dan,
(6) merancang
strategi pemasaran yang tepat (p roduct, place, promotion dan price) atau strategi bisnis.
Sejauh ini
belum terdapat fakta empiris bahwa telah
terdapat koperasi yang telah
melakukan positioning ataupun
repositioning dalam hal
pengelelolaan sumberdaya,
kelembagaan maupun usahanya.
Dengan demikian belum
terdapat contoh best practice
yang dapat dijadikan
rujukan dan replikasi bagi koperasi lainnya. Koperasi
di Indonesia, nampaknya masih
bergulat dengan kondisi
dan masalah internalnya.
Nama/NPM : Nurul Rochmah/25211407
Kelas/tahun :2EB09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar